Ironi Kedele di Negeri Tahu Tempe
Oleh Sri Endang Susetiawati
Dalam tiga pekan
terakhir ini, mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) sempat
terpuruk hingga menyentuh angka Rp 12.000,- per dollar AS. Padahal, sebulan
lalu, 1 dollar AS masih diperdagangkan pada kisaran angka di bawah Rp 10.000.
Di lantai Bursa Efek
Indonesia (BEI), pada saat yang hampir bersamaan, indeks harga saham gabungan
(IHSG) sempat menembus angka di bawah 4000, atau terendah dalam 3 tahun
terakhir. Padahal, di awal tahun ini, IHSG bahkan sempat
memecahkan rekor angka 5000, atau tepatnya 5010,907 pada 19/4/2013, atau angka
tertinggi sepanjang sejarah kehadiran bursa saham di negeri ini.
Terpuruknya nilai mata
uang rupiah terhadap dollar AS yang hampir seiring dengan kian melemahnya nilai
IHSG sempat mengingatkan kembali peristiwa sekitar 15 tahun lalu ketika Indonesia
memasuki krisis ekonomi, kemudian krisis politik yang menyebabkan kejatuhan
rezim Orde Baru (Orba).
Meski selalu ditepis
oleh pemerintah, bayang-bayang krisis ekonomi jelang reformasi belasan tahun
lalu, oleh sebagian pihak dikhawatirkan akan terulang lagi untuk saat ini. Kian meroketnya
harga-harga kebutuhan masyarakat, terutama yang terkait dengan barang impor,
sebagai akibat melemahnya kurs rupiah seolah turut meneguhkan kekhawatiran
datangnya kembali krisis ekonomi.
Ironi Tahu-Tempe
Contoh paling
mutatakhir dan cukup menyedot banyak perhatian masyarakat adalah aksi mogok
para pengrajin tempe dan tahu di berbagai daerah di Indonesia, sejak tanggal
8-11 September mendatang.
Mereka berdalih,
pelemahan nilai rupiah telah melonjakkan harga beli kedelai yang sangat tinggi, sehingga menyebabkan ketimpangan harga produksi dan harga jual yang kian sulit teratasi. Sekitar sebulan lalu, harga bahan pangan yang dinilai sangat merakyat ini masih
berada pada kisaran Rp 8.000- an per kg kacang kedelai.
Namun, kini, akibat
pelemahan rupiah yang tergolong cukup ekstrim, harganya telah mencapai pada
kisaran Rp 9.000-an per kg. Bahkan, untuk beberapa daerah tertentu, harganya
telah ada yang menembus angka Rp 11.000, - per kg.
Sebuah ironi, muncul
kembali. Salah satu bahan pangan yang hampir digemari oleh mayoritas masyarakat
Indonesia dan telah memberikan penghidupan bagi ribuan pengrajin tempe tahu di
seluruh pelosok negeri ini, ternyata dari 1,5 jutaan ton lebih kacang kedelai yang
dibutuhkan, sekitar 80 % di antaranya masih tergantung dari pasokan impor.
Dengan demikian,
makanan tahu dan tempe, kini sesungguhnya tak ada bedanya dengan produk makanan
mi instan yang bahan bakunya (gandum) didatangkan dari luar negeri.
Data terakhir di
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjukkan, hingga Agustus 2013, impor
kedelai sudah melebih angka 900.000 ton, dan hingga akhir tahun ini,
diperkirakan akan bertambah lagi sekitar 584.000 ton.
Ketergantungan Pangan dan Energi
Pertanyaan yang amat wajar
diajukan, adalah lantas apa saja kerja pemerintah Indonesia selama ini yang
seharusnya sejak beberapa tahun lalu mengupayakan swasembada bahan pangan
kedelai?
Dalam sebuah acara bernama
Forum Bisnis (Forbis) MetroTV (5/9/13), pekan lalu, ternyata terungkap pula,
bahwa lebih banyak lagi bahan pangan yang masih tergantung pada impor dalam
jumlah yang sangat banyak.
Untuk masing-masing komoditi, angkanya bisa
mencapai hingga jutaan ton per tahun.
Hingga Agustus 2013,
Data di Kemendag mencatat impor beras
sebesar 239.000 ton, jagung (1,3 juta ton), garam (923.000 ton) dan singkong (2
juta ton).
Sebuah ironi, ketika
negara agraris dengan lahan yang masih sangat luas dari hampir 2 juta km2 luas daratan yang dimiliki, dan mempunyai panjang
91.181 km garis pantai, atau terpanjang keempat di dunia, Indonesia hingga kini
masih harus mengandalkan barang-barang seperti itu yang seharusnya bisa
diproduksi di dalam negeri sendiri.
Ketergantungan impor
atas bahan pangan, seolah kian melengkapi ketergantungan yang sangat besar
negeri kathulistiwa ini atas sumber energi, berupa bahan bakar minyak (BBM).
Data tahun 2012 yang
dimiliki oleh Kementerian ESDM mencatat bahwa Indonesia mengimpor minyak mentah
sebanyak 300.000 barrel per hari dan impor BBM sekitar 70-an juta Kiloliter per
hari dari kebutuhan nasional akan BBM sekitar 1,4-1,5 juta barrel per hari.
Impor BBM ini, kini
telah menyedot anggaran hampir Rp 300 triliun per tahun yang sebagian besarnya
digunakan sebagai subsidi BBM.
Swasembada vs Impor
Lantas, apa yang
seharusnya dilakukan oleh bangsa ini agar ketergantungan pada produk pangan dan
energi dari luar negeri itu dapat dikurangi, sehingga gejolak finansial tidak
selalu terus mengombang-ambingkan ekonomi bangsa yang berpopulasi ke-4 terbesar
di dunia ini?
Menarik, apa yang
diucapkan oleh Wakil Presiden periode 2004-2009, M. Jusuf Kalla atau lebih
akrab disebut Pak JK pada acara Forbis MetroTV pekan lalu (5/9). Katanya, “Kita
harus tingkatkan produksi dalam negeri, dan bangsa ini mau serta bangga membeli
produksi bangsanya sendiri.”
Tentu kita sepakat
dengan Pak JK, bahwa kebijakan impor,
terutama impor bahan pangan haruslah merupakan kebijakan yang bersifat darurat
atau jangka pendek semata. Dalam jangka panjang, sudah sewajibnyalah pemerintah
mensukseskan kebijakan swasembada pangan bagi bangsanya sendiri.
Kebijakan impor bahan
pangan yang selalu muncul hampir setiap tahun, tidak saja mengindikasikan
adanya kegagalan program swasembada pangan di dalam negeri. Namun, juga seolah
kian meneguhkan adanya anggapan sejumlah pengamat, bahwa kebijakan impor pangan
pemerintah selama ini lebih menunjukkan pilihan pragmatis semata.
Pertama, sekadar untuk
mengatasi tekanan kenaikan angka inflasi dalam negeri, sehingga kran impor akan
selalu dibuka selebar-lebarnya untuk sepanjang masa. Kedua, boleh jadi,
kebijakan impor yang berkepanjangan memang jauh lebih mudah dan “cepat
menguntungkan” bagi mereka, para pejabat yang tidak mau terlalu ambil pusing
dan susah payah untuk meraih swasembada.
Kasus “impor daging
sapi” yang hingga kini masih dalam proses persidangan di pengadilan Tipikor,
adalah contoh paling nyata, bahwa begitu amat mudah, keuntungan besar itu dapat
diperoleh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, hanya dengan menaikkan harga
daging sapi, untuk kepentingan jatah keuntungan masing-masing pihak, sesuai
dengan kesepakatan mereka yang ambil bagian dalam komplotan kejahatan korupsi. *** [Srie]
apa nubgkin karena kedelai hak patenya dipegng jepang?
BalasHapusatau karena kita (..........)hanya memikirkan makan ketimbang swaswmbada pangan?
ok paham. bahasanya mudah dimengerti sama aku
BalasHapus