Malu Bertanya, Sesat Di Otak
Oleh Srie
Dengan bertanya, ia akan berusaha untuk mengetahui masalah.
Dengan bertanya, ia akan berusaha memahami duduk persoalan yang sebenarnya.
Dengan bertanya, berarti ia terbiasa untuk berpikir kritis, hingga terbiasa untuk
memperoleh jawaban yang memuaskan.
Mengapa siswa perlu mengembangkan
kebiasaan bertanya? Karena dengan terbiasa bertanya, maka
siswa akan lebih terangsang untuk berfikir. Siswa akan lebih termotivasi dan lebih aktif dalam
proses belajar di kelas. Siswa akan lebih mampu merekonstruksi materi pelajaran
yang dibaca sendiri atau
diajarkan oleh gurunya di kelas.
Siswa akan lebih
menguasai materi pelajaran dengan kerangka berfikir yang lebih utuh dan
sistematis. Siswa akan lebih mampu mengungkapkan kembali apa yang ia pahami
dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Bukan dengan cara copy paste atas kata-kata atau kalimat
yang tersusun dalam buku pelajaran atau apa yang diucapkan oleh guru. Sesuatu yang membuat pikirannya menjadi jumud, sehingga sulit untuk
diajak berfikir lagi.
Masih ingat, ada
ungkapan “malu bertanya, sesat dijalan”? Sayangnya, kemudian ada
yang memplesetkan menjadi “sering bertanya,
bikin malu-maluin”. Plesetan yang tidak relevan dan kontraproduktif dalam dunia
pendidikan.
Tentu, bukan
dalam konteks ini kita memahami arti bertanya dalam proses pembelajaran di
sekolah. Namun, dalam konteks “pertanyaan
adalah gambaran dari isi dan cara kerja otak seseorang”. Pertanyaanmu adalah
otakmu. Malu bertanya, sesat di otak.
Dari pertanyaan,
kita akan mengetahui apa saja pengetahuan yang
telah ada pada memori otak siswa. Dengan pertanyaan, kita dapat
melihat sejauhmana siswa itu memahami atau menguasai materi persoalan yang sedang diajarkan. Singkatnya, dari bentuk pertanyaan yang dilontarkan oleh siswa
akan mencerminkan tingkat kecerdasannya.
Tidaklah terlalu salah jika ada ungkapan bahwa kecerdasan
seseorang – sejatinya - bukanlah terletak dari bagaimana ia mampu menjawab sejumlah soal atau
pertanyaan. Sebaliknya, kecerdasan itu, justru lebih dapat terlihat dari apa
dan bagaimana seseorang itu bertanya dengan pertanyaan yang cerdas dan bermutu.
Masalahnya, bagaimanakah tradisi bertanya siswa di sekolah kita?
Adakah sekolah telah mampu merangsang siswa untuk bersemangat dan aktif
bertanya, ataukah saat ini sekolah kian
menunjukkan siswa yang malas atau takut bertanya?
Ada ungkapan yang menggelitik. Katanya, kenapa harus memperbanyak pertanyaan lagi, toh beragam pertanyaan sudah terlalu banyak dan berjubel, antara lain melalui
tugas-tugas LKS yang diterima siswa setiap hari? Tentu saja, pengandaian ini belum memasukkan faktor UN,
sebagai bentuk soal yang dianggap teramat “menyeramkan” yang membuat siswa kian
lengkap menjadi orang yang terbiasa untuk menjawab soal-soal saja.
Siswa tidak
diajarkan menjadi orang yang pintar bertanya, yang membuat otaknya terus
berfikir dan berkembang lebih cerdas. Bukankah, dalam kehidupannya nanti
setelah menjadi dewasa, kebiasaan untuk bertanya, kemudian berfikir untuk
berusaha memperoleh jawaban sendiri akan lebih bermanfaat dalam menghadapi
berbagai permasalahan yang akan dihadapinya kelak?
Kemampuan
seseorang dalam memecahkan masalah berawal dari kemampuannya dalam menjawab
setiap pertanyaan yang diajukan oleh dirinya sendiri. Sayangnya, hingga saat
ini, kemampuan bertanya siswa belum merupakan bagian penting dari sistem
penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah kita.
Bagaimana dengan pendapat anda? Salam persahabatan. *** [By Srie]
Izin bertanya, apa aja Indikator kebiasaan bertanya menurut para ahli
BalasHapusNama: selva zahra haritsya (31)
BalasHapusKelas: X MIPA 4
Terima kasih ibu, artikel ini sangatlah bermanfaat. Saya sangat setuju dengan kalimat bahwa kecerdasan bukan diukur dengan seberapa banyak siswa itu menjawab soal tetapi kecerdasan itu terlihat dari apa danbagaimana siswa itu bertanya. Tetapi bagaimana jikaa sampai saat ini para siswa masih menjadikan soal soal ujian sebagai titik kecerdasan bahkan kesuksesan? dan apakah ada tips khusus agar siswa bisa lebih berani untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya?