SARA, Stigma Politik dan Pilkada
Oleh Srie
SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) sejatinya adalah bagian
dari fakta sejarah atas berdirinya republik ini. Indonesia lahir dari rahim
kebhinnekaan, di mana SARA merupakan salah satu bagian terpenting dari komponen
kemajemukan sebuah bangunan bangsa.
Adalah hampir tidak mungkin semboyan Bhinneka Tunggal Ika akan lahir
bila SARA dinafikkan oleh para pendiri negeri ini. Ke-Ika-an akan menemukan
maknanya yang berarti di atas hamparan ke-Bhinneka-an.
Jadi, sesungguhnya tidak ada masalah dengan SARA, bahkan dalam konsep
sebuah negara yang dibangun diatas landasan Bhinneka Tunggal Ika. Lantas,
mengapa kini SARA mencuat kembali menjadi sesuatu yang seolah hendak diingkari?
Amat mungkin, karena SARA telah kembali menjadi STIGMA politik.
Lalu, SARA menjadi alat manipulasi politik,
yang ujung-ujungnya untuk mencapai kepentingan
kekuasaan politik pihak-pihak tertentu. SARA, juga telah menjadi bagian dari
politik pencitraan untuk kemenangan kekuasaan.
Pilkada DKI Jakarta merupakan bagian dari agenda dan peristiwa politik.
Sejatinya, tidak ada masalah ketika warga DKI memiliki preferensi politik atas
Cagub/Cawagub berdasarkan SARA. Selalu ada faktor subjektivitas dalam sebuah
pilihan, termasuk pilihan politik.
Tidak akan pernah ada pilihan politik berdasarkan faktor objektivitas
atau rasionalitas yang murni. Terkait dengan masalah Pilkada, katakanlah aspek
integritas, kapabilitas dan akseptablitas atas diri calon pemimpin, dapat
dipastikan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan pilihan bagi pemilih.
Sentimen primordial, seperti asal-asul daerah, tempat tinggal, etnis,
agama, dan sejenisnya, akan turut berpengaruh dalam sebuah permainan politik.
Dalam konteks Pilkada, faktor-faktor subjektif dan dalam hal tertentu bersifat
primordial tersebut, akan dimanfaatkan sebagai bagian dari strategi pemenangan
politik.
Faktor-faktor yang akan menguntungkan calon yang didukung, sudah tentu
akan dioptimalkan untuk meraih kemenangan. Bahkan, dalam batas-batas tertentu,
tidak menutup kemungkinan akan terjadinya eksploitasi secara berlebihan.
Tujuannya, tak lain adalah untuk memberikan keuntungan politik bagi calon yang
didukung, dan sebaliknya memberikan efek kerugian bagi calon lawannya.
Trilogi ORBA
Adalah rezim Orde Baru (ORBA) yang secara nyaris sempurna memanfaatkan
istilah SARA untuk melanggengkan kekuasaan politiknya selama lebih dari 3
dekade. Bahkan, SARA kemudian berhasil dijadikan sebagai bagian dari doktrin
resmi negara (misalnya, melalui GBHN) untuk mendukung 3 pilar (trilogi) “ideologi”
pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan.
Bagi rezim ORBA, stabilitas adalah sesuatu yang mutlak diperlukan.
Stabilitas menjadi prasyarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan pembangunan, yang
bertujuan agar terjadi pertumbuhan ekonomi nasional. Selanjutnya, dengan adanya
pertumbuhan ekonomi, diharapkan dapat berimbas pada terciptanya pemerataan
hasil-hasil pembangunan.
Pada prakteknya, stabilitas kemudian dimaknai sebagai penyeragaman,
atas nama persatuan (ke-ika-an). Maka, istilah yang berbau SARA kemudian
menjadi sesuatu yang diharamkan. Keragaman (ke-bhinneka-an) yang bersumber atas
SARA, lantas dianggap menjadi sebuah ancaman yang setiap saat harus segera
ditiadakan.
Tidaklah heran, bila kemudian rezim ORBA sangat alergi atas keragaman inspirasi
dan aspirasi yang berbasis pada perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan. SARA
telah berubah secara nyata menjadi stigma politik yang cukup efektif atas
lawan-lawannya.
Stabilitas, akhirnya dimaknai secara statis, dan ditegakkan atas dasar
pemaksaan kekuasaan yang mengabaikan realitas dan dinamika kemajemukan. Hasilnya,
pertumbuhan ekonomi nasional menjadi salah satu success story rezim
ORBA, hingga kini. Meski masih sangat diperdebatkan, untuk beberapa hal
tertentu, aspek pemerataan pembangunan dianggap cukup dirasakan.
Pendulum Reformasi
“Keberhasilan” pembangunan termakan oleh dirinya sendiri. Rezim ORBA
pun tumbang. Berkat perjuangan reformasi, pendulum telah bergerak ke arah yang
berseberangan. Kebebasan yang berbasis atas kebhinnekaan menjadi spirit yang
amat menonjol untuk dimunculkan melawan rezim otoritarian yang berslogankan
atas nama persatuan.
Ekspresi kebhinekaan telah termanifestasikan secara bebas, bahkan
cenderung kebablasan, hingga pada tingkatan yang paling ekstrim sekalipun.
Antara lain, ekspresi dari sejumlah daerah untuk memisahkan diri dari NKRI.
Pada titik ini, kebhinnekaan telah sampai pada titik tertentu, dimana ke-ika-an
menjadi dipertaruhkan.
Atas nama demokrasi, ekspresi kebhinnekaan (keberagaman) itu menemukan
kembali ruhnya yang paling kuat pada saat ini. Tak ada lagi pembatasan,
khususnya partisipasi secara politik atas etnis tertentu, atau pandangan
politik tertentu pula.
Dalam hal ini, reformasi telah berhasil membangkitkan kembali
kebhinnekaan dari puing-puing rezim ORBA. Secara politis pula, penerapan sistem
demokrasi langsung telah kian menguatkan semangat keragaman.
Dalam sistem demokrasi, stabilitas memperoleh maknanya secara dinamis,
bukan statis. Dinamika politik bukan untuk ditiadakan, akan tetapi harus
dikelola secara baik agar dapat memastikan pilar-pilar bangsa tetap utuh, untuk
kemudian secara efektif dapat meraih tujuan nasional.
Kesetimbangan Baru
Dalam konteks historis inilah, masalah SARA seharusnya diletakkan
secara proporsional. SARA, sekali lagi adalah bagian dari fakta dan kenyataan
sejarah berdirinya republik ini. Masalahnya, adalah bagaimana mengelola
keragaman, termasuk berdasarkan atas SARA tersebut tetap masih dalam bingkai
persatuan, dan sekaligus terus memperkuat bangunan kebangsaan yang lebih maju.
Demokrasi, sesungguhnya telah memberikan ruang yang kokoh untuk
berkembangnya keragaman SARA secara sehat. Rakyat, perlu terus diberikan
pembelajaran mengenai bagaimana mengelola masalah SARA secara sehat. Sementara
itu, elit politik seminimal mungkin untuk tidak melakukan eksploitasi SARA
secara berlebihan. SARA, kini sedang menuju kesetimbangan baru dalam sistem
demokrasi.
Meski begitu, saat ini, keadaan sudah jauh berubah. Tingkat
rasionalitas, dan kesadaran politik yang lebih tinggi telah ada pada sebagian
besar rakyat. Selalu ada sebagian dari mereka yang berusaha mengeksploitasi
SARA. Namun, secara keseluruhan, hal ini hanya akan menjadi bagian kecil dari
percikan api demokrasi.
Jadi, saksikan saja mereka yang sedang bermain politik di Pilkada.
Termasuk, saat mereka memain-mainkan masalah SARA. Keduanya, sesungguhnya
sama-sama bermain tentang SARA juga. Cuma beda perspektif dan kepentingan
politik saja. Agaknya, negeri ini, telah
begitu kokoh, hanya sekedar untuk dijadikan panggung “permainan” SARA. Semoga
saja.***[Srie]
Tidak ada komentar
Kami menghargai komentar yang relevan dengan konten tulisan, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, dan tidak mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).