Peranan Guru Di Era Baru (3) : Perubahan Paradigma
Oleh Sri Endang Susetiawati
Proses pembelajaran yang seperti ini, tentu saja amat sesuai dengan empat visi pendidikan abad ke-21 versi UNESCO, yang lebih mendasarkan pada paradigma learning, atau tidak lagi mengacu pada paradigma teaching.[1] Keempat visi pendidikan itu adalah:
1). Learning to think (belajar berpikir), yang berarti pendidikan berorientasi pada pengetahuan logis dan rasional, sehingga pelajar barani menyatakan pendapat dan bersikap kritis serta memiliki semangat membaca yang tinggi.
2). Learning to do (belajar berbuat/hidup), yang berarti pendidikan berorientasi pada upaya pemecahan masalah (how to solve the problem), dimana anak didik diarahkan untuk memiliki ketrampilan dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari yang biasa dihadapinya.
3). Learning to live together (belajar hidup bersama), yang berarti pendidikan berorientasi pada pemberian pemahaman pada anak didik bahwa manusia hidup dalam sebuah masyarakat yang plural dan global dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, etnik dan budaya. Sehingga, siswa diharapkan akan lebih memahami nilai-nilai kemanusiaan universal, antara lain pentingnya hidup damai, sikap toleransi, penghargaan atas hak-hak asasi manusia (HAM), demokrasi, lingkungan hidup dan kesetaraan gender.
4) Learning to be, (belajar menjadi diri sendiri), yang berarti pendidikan berorientasi pada pembentukan karakter, dimana siswa nantinya akan menjadi pribadi yang mandiri, memiliki harga diri, dan tidak sekedar memiliki hal-hal yang bersifat duniawi, seperti materi atau jabatan dan kedudukan.
Perubahan paradigma pendidikan ini, tentu saja, akan berpengaruh pada fungsi dan peran guru yang tidak lagi menjadi sentral atau segala-galanya bagi para muridnya. Kini, guru harus lebih berperanan sebagai fasilitator belajar bagi siswanya, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat kemampuan dan minatnya masing-masing.
Guru harus lebih berfungsi sebagai motivator belajar bagi para siswanya, terutama mengenai bagaimana agar siswa dapat sukses belajar dan siap dalam menghadapi dunia riil di masyarakat usai lulus sekolah nanti. Sebagai supervisor belajar, guru pun harus lebih mengarahkan siswanya agar belajar untuk membiasakan diri dalam memecahkan masalah dirinya, dan beragam masalah yang terjadi di masyarakat atau masalah yang akan dihadapi oleh mereka kelak.
Perubahan paradigma ini juga akan mengubah cara guru dalam mengajar di ruang kelas. Kini, guru harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada para siswa untuk dapat belajar secara aktif melalui pendekatan dialogis. Metode pengajaran ceramah yang cenderung bersifat monologis, perlu diganti dengan metode pengajaran dialogis yang dapat merangsang siswa agar lebih banyak bertanya atau berpendapat dalam suasana diskusi yang menyenangkan. Dengan metode dialogis, siswa diharapkan akan lebih berminat dalam membaca, baik membaca buku pelajaran, buku pengayaan atau membaca informasi yang ada di dunia internet.
Dalam jangka panjang, model pendekatan dialogis ini akan dapat membangun kemampuan logika berfikir siswa yang lebih sistematis dan cerdas. Siswa akan lebih mampu dalam mengemukakan pendapatnya sendiri dengan kata-kata atau kalimat yang disusun sendiri berdasarkan logika dan kerangka berfikir sendiri.
Siswa akan terbiasa memahami berbagai pendapat yang berbeda dari teman-temannya, sekaligus membiasakan diri untuk mengembangkan sikap toleransi dan semangat bekerjasama dalam beragam perbedaan yang terjadi. Tentu saja, hal ini berarti sekaligus menjadi bagian dari proses pembelajaran yang akan jauh lebih efektif dalam pembentukan karakter dan kerpibadian siswa yang positif.
Mantan Dirjen Dikti Kemendikbud, Dr. Indra Djati Sidi (2001) menegaskan hal yang hampir senada, bahwa di masa depan, guru tidak akan tampil lagi berperanan sebagai pengajar (teacher), seperti fungsi dan perannya yang lebih menonjol selama ini. Guru tidak lagi akan mengedepankan pada bentuk pengajaran satu arah yang didominasi metode ceramah, dimana guru dianggap sosok yang serba tahu dan menjadi pusat dari para muridnya dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, peran guru nanti akan beralih menjadi pelatih (coach), pembimbing (counselor) dan manajer belajar (learning manager).[2]
Sebagai pelatih (coach), seorang guru akan berperan seperti pelatih olahraga. Ia mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk berlatih, bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya, serta membantu siswa untuk menghargai nilai belajar dan pengetahuan. Sebagai pembimbing (counselor), guru akan berperan sebagai sahabat bagi siswa, menjadi teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Sedangkan sebagai manajer belajar (learning manager), guru akan membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa, dan mengeluarkan ide-ide baik yang dimilikinya demi kemajuan bagi anak didiknya.
Dengan sejumlah peran baru seperti di atas, maka guru diharapkan akan mampu untuk mendorong para siswanya dalam mengembangkan potensi diri masing-masing. Guru pun diharapkan akan mampu mengembangkan krativitas siswa, mendorong penemuan kelimuan dan teknologi yang inovatif, sehingga siswa diharapkan dapat bersaing pada tingkat global. Tentu saja, tak ketinggalan, guru pun diharapkan akan mampu mengembangkan karakter dan kepribadian siswa dalam menghadapi sejumlah masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, antara lain seperti masalah korupsi, masalah krisis moral, masalah kemiskinan dan masalah kekerasan yang dilakukan oleh pelajar.*** By Srie.
Tidak ada komentar
Kami menghargai komentar yang relevan dengan konten tulisan, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, dan tidak mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).