07. Pengakuan Seorang Saksi
Pagi-pagi sekali, Fia sudah berada di Polsek Pasar Minggu. Adit telah tampak menemani. Ia telah diminta oleh Fia saat waktu shubuh sebelumnya.
Terlihat Pak Indra yang ikut mengantar mereka keluar dari ruangan tengah Polsek. Kali ini, ada Suparman yang terlihat mengikuti mereka dari belakang. Sepertinya, Pak Indra telah memberikan izin kepada Fia untuk mewawancarai Suparman di salah satu ruangan di kantor Polsek, setelah semalaman ia sempat dimintai keterangan oleh anggota tim penyidik.
Suparman terlihat duduk menghadap ke arah Fia dan Adit. Masih tampak kelelahan di wajah Suparman, yang memang belum sempat tertidur sejak semalam. Namun, Fia agak memaksanya mengingat ia hanya diberi waktu kurang dari setengah jam saja. Suparman harus segera dikembalikan ke petugas polsek untuk diproses lebih lanjut, meskipun statusnya hingga pagi itu masih sebagai saksi.
“Anda harus jawab dan ungkapkan apa adanya” saran Fia.
“Baik, mbak” ucap Suparman agak memelas.
“Jika tidak, anda segera berubah statusnya menjadi tersangka, setelah keluar dari tempat ini” kata Fia lagi.
“Iya, mbak. Tolonglah saya” ucap Suparman lagi dengan memohon.
Selanjutnya, terlihat Fia mulai melakukan wawancara. “Benarkah, anda yang menaburkan racun ke dalam empal gentong ?”.
“Tidak, mbak. Sungguh” jawab Suparman terlihat ketakutan.
“Kata polisi, anda telah mengaku, sebagai pelaku yang menaburkan racun itu”.
“Saya capek sekali, mbak. Saya dipaksa terus”.
“Sekali lagi, mohon jawab dengan jujur. Agar saya dapat menolongmu” ingat Fia.
“Iya, mbak. Sumpah, saya tidak berbohong” katanya terlihat makin ketakutan.
Fia menghentikan sejenak pertanyaannya untuk memberi kesempatan kepada Suparman agar bisa lebih tenang.
“Saat kejadian itu, empal gentong yang terkena racun, apakah empal untuk pesanan atau untuk jualan di warung ?” tanya Fia lagi.
“Awalnya untuk pesanan, mbak” jawabnya.
“Pesanan siapa ?” kejar Fia.
“Kata Pak Haji, pesanan untuk acara Pak Hasanudin”.
Fia terus mengejarnya, “siapa dia ?... Anda tahu ?”.
“Tidak tahu, mbak. Saya cuma tahu, pesanan itu untuk acara partai”.
“Terus... ?” kata Fia lagi.
“Sudah, mbak. Cuma itu yang saya tahu” ucap Suparman sembari membungkuk.
Fia mulai menurunkan tekanan suaranya.
“Pesanan itu, kapan mau dikirim ?”
“Rencananya, jam sembilan pagi sudah akan dikirim ke rumah Pak Hasanudin. Tapi, dibatalkan” jawab Suparman.
“Dibatalkan, maksudnya apa ?”.
“Saya tidak tahu, mbak. Saya hanya tahu, empal gentong tidak jadi dikirim” jawabnya lagi.
Fia terlihat manggut-manggut. “Terus, empal itu akan dijual lagi di warung Pak Haji ?” tanya Fia.
“Betul, mbak. Pak Haji meminta saya untuk membuka kembali empal yang sudah dibungkusi, terus dimasukkan kembali ke gentong” jawab Suparman.
“Jadi, empal itu yang kemudian dimakan oleh Pak Haji dan korban lainnya ?”.
“Betul, mbak”.
“Anda memakan empal itu juga ?”.
“Betul, mbak. Saya makan jam lima pagi, saat empal baru saja masak, sebelum dibungkusi”
Fia menoleh ke arah Adit, yang dari awal tetap saja diam terduduk di samping kanannya.
“Apa ada yang mau ditanyakan lagi, Adit ?” tanya Fia.
“Tidak ada. Cukup, Fia” jawab Adit singkat.
Lalu, Fia kembali menghadap ke arah Suparman.
“Untuk sementara sudah cukup. Terima kasih atas waktunya. Silakan anda kembali lagi ke ruangan sana” ujar Fia.
“Sama-sama, mbak. Terima kasih, mau menolong saya” balas Suparman, sambil menjabat tangan Fia dan kemudian Adit.
Suparman telah kembali ke ruangan pemeriksaan. Sementara Fia dan Adit masih berada di dalam ruangan itu.
“Kamu percaya kata-kata Suparman tadi ?” tanya Adit.
“Kita lihat saja nanti” jawab Fia singkat.
Adit cuma menggeleng-gelengkan kepala.
“Selalu saja, jawabanmu diplomatis begitu”.
Fia mengabaikan komentar terakhir dari rekannya.
“Apa betul Lu punya banyak kenalan orang partai ?” tanya Fia.
“Ha.ha.. Maksud Lu, mau alih profesi, jadi politisi ?”.
“Jawab dulu pertanyaanku” potong Fia.
“Yoi, Fia. Banyak sih enggak. Cuma lumayan saja” jawab Adit seperti sedang mengajak Fia agar lebih santai.
Fia terlihat sedang mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Kemudian, ia menuliskan empat nama orang pada sebuah sobekan kertas. Adit terus memandanginya saja.
“Tolong cari tahu tentang nama-nama orang ini, di partai ini” kata Fia sambil menyerahkan sobekan kertas itu kepada Adit, serta menunjukkan sebuah stiker kampanye seorang Caleg, yang ia dapatkan dari si ibu.
“Apa kaitannya dengan wawancara Suparman tadi ?” tanya Adit, sedikit heran.
“Cari tahu dulu melalui kenalanmu, nanti akan aku jelaskan” jawab Fia terlihat agak geregetan, dengan tangan menunjuk dan mata yang sedikit melotot.
“Oke, Fia. Tapi, Lu bisa sedikit santai, kan ?” balas Adit.
Fia agak tersentak, kemudian ia berusaha untuk menghias bibirnya dengan senyum, walau masih terkesan agak dipaksakan.
“Baik, Pak Adit. Sory ya. Nih, aku sudah mulai santai” ucapnya. Adit melihatnya dengan geli.
“Ha.ha...”.
Fia kembali menemui Pak Indra di ruangan kantornya. Sementara Adit, terus berjalan keluar menuju halaman Polsek. Sesaat setelah Fia duduk di kursi, Pak Indra langsung mengajukan pertanyaan.
“Bagaimana hasil wawancaranya ?”.
Fia sempat mengambil nafas dalam-dalam, cuma sekali, kemudian menjawab pertanyaan dari pria yang kini mengenakan pakaian seragam polisi.
“Suparman tidak mengaku menaburkan racun, Pak”.
Pak Indra terlihat manggut-manggut, dengan mengetuk-ngetukkan tangannya di atas meja.
“Pelaku kriminal, memang suka berubah-ubah pengakuan saat dimintai keterangan” kata polisi yang memegang jabatan Kanitserse di kantornya.
Suara telepon genggam berdering. Pak Indra mengangkatnya.
“Halo” ucapnya. “Ya... ?. Oke. Baik. Segera bawa ke sini” lanjutnya, kemudian meletakkan kembali HP-nya di atas meja.
“Si ibu itu dan barang bukti kaleng racun, sedang dibawa ke sini” ucap Pak Indra.
“Oh, iya. Bagus, biar cepat terungkap” balas Fia.
Bersamaan dengan itu, giliran handphone milik Fia yang bergetar, tanpa suara. SMS baru telah masuk. Fia langsung membacanya. Sesaat kemudian..
“Maaf, sebentar saya keluar dulu, Pak” ucap Fia.
“Silakan” kata Pak Indra.
Di luar Polsek, Fia sudah ditunggu oleh Adit yang terlihat masih sedang melakukan hubungan telepon dengan seseorang.
“Bener, nih... Valid kan, informasinya ? Oke, terima kasih” ucap Adit mengakhiri percakapannya.
“Sudah dapat infonya ?” tanya Fia, sambil berdiri.
“Yoi, Fia. Tiga nama sudah aku dapat informasinya, kecuali Pak Sanusi” jawab Adit.
“Kita ke warung depan dulu deh, sebentar” ajak Fia.
“Baik, Bos. Siap, laksanakan” balas Adit.*** By Srie
(Bersambung....)
Tidak ada komentar
Kami menghargai komentar yang relevan dengan konten tulisan, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, dan tidak mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).