05. Endrin, Racun Pembunuh Tikus
Oleh Sri Endang Susetiawati
Fia baru sampai di Polsek Pasar Minggu, terlihat agak terburu-buru. Ia datang terlambat, karena terjebak macet, yang kian parah akibat arak-arakan massa kampanye pemilu dari salah satu partai politik. Aditya menyambut kedatangan Fia,
“Sudah telat non, konferensi persnya sudah bubar”.
Fia langsung membalasnya, “Aduh, sory. Macet banget. Tapi, ada yang mewakili, kan ?”.
“Yang mewakili sih ada, tapi kemana saja seharian, HP mati terus ?” balas Adit.
“HP lowbat, semalam aku lupa ngecharge. Soal kemana saja, nanti aku akan ceritakan” jelas Fia.
“Pake nanti segala, pakai rahasia lagi...” sindir Adit.
“Ha.ha.. Mana Seno ?” tanya Fia.
“Ada tuh, di dalam” jawabnya.
“Lagi ngapain dia ?”tanya Fia lagi.
“Masih menunggu acara konferensi pers”.
Mulut Fia berdecak, “Ah, ngibul Lo, katanya sudah bubar”.
“Sekali-kali, kagak boleh ape, gue bohongin kamu” kilah Adit.
“Lo sudah sering boong, tau...” kata Fia.
“Ayo, kita ikut ke dalam” ajaknya. Hape Aditya berdering, lalu diangkat.
“Oke. Nih, kita sudah mau masuk ke dalam. Ya, bersama Fia. Oke” ucap Aditya.
“Ayo, kita sudah ditunggu Seno di dalam” ajak Adit.
Di ruangan tengah Polsektro Pasar Minggu. Belasan wartawan cetak dan elektronik telah berkumpul. Kapolsek Kompol Suparno baru saja keluar dari ruang kantornya, setelah sekitar seperempat jam sebelumnya ia baru saja datang. Ia telah siap di depan para wartawan untuk menyampaikan jumpa pers, terkait informasi perkembangan penyelidikan kasus empal gentong.
Kalimat pertama yang ia sampaikan adalah ucapan permohonan maafnya atas keterlambatan jumpa pers hingga satu jam dari yang direncanakan. Sebuah permohonan yang klise, namun tetap saja sering terjadi pada banyak pejabat di negeri ini.
“Mohon maaf, kami harus menghadap ke Polres terlebih dahulu. Terus, saat di perjalanan kami terkena macet” dalih Kapolsek.
Dalih menghadap atasan dan jalanan yang macet menjadi alasan yang paling mudah untuk disampaikan. Walaupun begitu, tetap saja membuat para pemburu berita menjadi kecewa. Ungkapan “Menunggu adalah perbuatan yang paling menjemukan”, tetap berlaku bagi pelaku profesi kuli berita ini.
Mereka merasa lebih kecewa lagi, karena Kapolsek ternyata tidak jadi menyampaikan informasi terkait kasus empal gentong yang sudah ditunggu-tunggu sejak beberapa jam sebelumnya.
“Selanjutnya, kami mohon maaf pula bahwa saat ini kami tidak dapat menyampaikan informasi yang terkait dengan proses penyelidikan kasus empal gentong” ujar Kapolsek, yang langsung dibalas secara spontan dengan teriakan “Huuuuh...” oleh para wartawan.
“Sekali lagi, kami mohon maaf” kata Kapolsek lagi.
“Karena, mulai hari ini kasusnya telah diambil alih oleh Polres Jakarta Selatan. Seluruh informasi mengenai perkembangan kasus tersebut akan dilakukan oleh pihak Polres. Demikian dan terima kasih”
Suasana mendadak berubah menjadi sangat gaduh. Sejumlah wartawan masih ada yang tetap saling berebut dan mengejar penjelasan atau pernyataan dari Kapolsek terkait kasus tersebut.
“Apa telah ada tersangka, Pak Kapolsek ?”
“Apa motif kasusnya, Pak ?”.
“Maaf, kami butuh satu pernyataan saja, apa Polsek telah menetapkan nama tersangka ?”
Masih banyak lagi, pertanyaan yang dilontarkan oleh para wartawan, yang kian terdengar tak beraturan, silih tanya, berebut ke muka dan saling berdesakan. Kapolsek mulai berdiri, kemudian mencoba berjalan hendak kembali menuju ke ruangan kantornya. Ia cuma sempat menyampaikan dua kalimat saja, “Mohon maaf, kasusnya sudah ada di Polres. Kami tidak berwenang lagi memberikan informasi ke pers”.
Wartawan sangat kecewa. Termasuk Fia dan kedua rekannya.
“Ngapain, aku harus cape terjebak macet untuk buru-buru datang ke sini” komentar Fia kepada Adit yang berdiri di sampingnya.
“Yang nelpon kamu, kan bukan aku. Tapi Seno. Tanya saja ke dia” kilah Adit.
“Ngaco, enggak mau bertanggung jawab, lagi” balas Fia, yang melihat Seno mendekat ke arahnya.
“Tuh, Fia ngamuk gara-gara jumpa pers tidak ada hasil” ujar Adit kepada Seno.
“Biasalah. Tapi, sebelumnya kita telah banyak mendapat informasi dari para saksi yang datang ke sini. Termasuk dari penyidik sendiri” jawab Seno.
“Kita langsung cabut saja. Biar cepat dibahas di kantor” tambah Seno lagi.
Mereka pun langsung meninggalkan Polsek, menuju kantornya di kawasan Mampang Prapatan.
----------***----------
Di ruangan Sub Divisi Investigasi, salah satu bagian dari Divisi News, Program Pemberitaan TV. Fia, Seno dan Aditya tengah terlibat dalam pembahasan diskusi. Seno tampak memberi penjelasan tentang kasus yang sedang mereka tangani.
“Dari informasi yang kita dapat, motif yang melatarbelakangi kasus empal gentong, hanya tersisa dua kemungkinan saja”.
“Polisi hanya menyisakan kemungkinan motif persaingan dagang Pak Suminto dan motif perselingkuhan Sumiyati. Motif hutang piutang Pak Abdullah, pedagang daging sapi, dianggap kurang didukung oleh keterangan yang kuat dari para saksi” jelas Seno.
“Apa polisi telah menetapkan tersangka ?” tanya Fia.
“Kata salah seorang anggota penyidik, satu atau dua hari ke depan, polisi baru akan tetapkan nama tersangka” jawab Seno.
“Berarti, calon tersangka cuma ada dua nama. Pak Suminto atau Ibu Sumiyati” ujar Fia.
“Kemungkinan, begitu” balas Seno.
“Terkesan sangat memaksakan” timpal Adit.
“Maksudnya ?” tanya Seno.
Kemudian, Adit memberikan penjelasan berdasarkan analisanya.
“Motifnya mungkin ada. Tapi, masih terputus oleh ketiadaan saksi langsung dan barang bukti”.
Fia terdiam, membiarkan saja kedua rekannya saling bergantian untuk berbicara. Adit menjelaskan lagi,
“Pak Suminto, memang telah mengakui pernah terlibat pertengkaran dengan korban, dan pernah saling mengancam. Ada kesaksian, di hari kejadian, ia berada di warungnya hingga jam delapan pagi. Kemudian, ia dianggap menghilang saat peristiwa terjadi, hingga keesokan harinya baru datang kembali. Namun, belum ada saksi yang benar-benar melihat Pak Suminto saat menaburkan racun ke dalam empal gentong itu”
“Hampir sama dengan Sumiyati” kata Aditya lagi.
“Memang benar, ia sempat terlibat perselingkuhan, lalu ia sempat mengancam ketika terlibat permasalahan dengan korban. Tudingan terhadap Suparman sebagai pelaku penabur racun, karena memiliki hubungan kekerabatan sebagai keponakan Sumiyati, sangat mungkin untuk dipertanyakan” jelas Adit lagi.
“Apa untungnya bagi Suparman, yang harus kehilangan pekerjaan setelah Haji Gendut tewas ?” tanya Adit.
“Mungkin, ikut sakit hati atau diiming-imingi uang oleh ibu Sumiyati ?” ujar Seno.
“Terlalu jauh berspekulasi tanpa disertai bukti-bukti yang kuat” balas Adit.
“Fakta bahwa Suparman tidak terkena racun, meskipun ia sempat makan empal gentong, menurut saya sangat layak untuk dicurigai” kata Seno.
“Maksudnya, karena Suparman tidak terkena racun, maka ia harus dicurigai telah mengetahui kapan penaburan racun terjadi ?” tanya Adit.
“Bukan hanya sekedar mengetahui, amat mungkin ia sendiri pelakunya. Sehingga, ia bisa memilih waktu makan saat jam lima-an, waktu yang masih aman sebelum racun ditaburkan” jawab Seno.
“Hingga saat ini, Suparman tidak memberi pengakuan sebagai pelaku yang menaburkan racun” ujar Adit.
“Pengakuan dari pelaku tidak selalu harus ada. Pelaku cenderung menyangkal untuk mengelak dan berbohong untuk membela diri” sanggah Seno.
“Perlu bukti kuat untuk menuduh pelaku yang tidak mau mengaku” jelas Adit.
Seno terdiam sejenak, tidak langsung menanggapi pernyataan dari Adit lagi. Ada kebuntuan yang sama dirasakan oleh mereka.
“Itulah, yang menjelaskan mengapa sampai hari ini, polisi belum menetapkan satu nama pun sebagai tersangka” ujar Seno.
“Polisi masih menghadapi jalinan cerita yang terputus-putus. Sambungannya belum diketemukan, hingga saat jumpa pers yang gagal tadi” imbuh Adit.
Sejak tadi, Fia tetap saja setia menjadi pendengar yang baik di antara kedua rekan kerjanya. Kedua matanya, selalu bolak balik berganti arah, mengamati rekannya yang saling berganti bicara. Kini, ia mulai angkat bicara,
“Apa kalian telah bertemu langsung dengan Suparman ?”.
“Sudah, saat habis duhur, setelah ia diperiksa lagi di Polsek” jawab Seno.
“Kita, sudah ketemu juga dengan Pak Suminto, sekitar jam sepuluhan. Setelah itu, kita ketemu Sumiyati” tambah Adit menjelaskan.
Fia bertanya lagi, “Apakah lazim seorang karyawan Haji Gendut makan pagi dengan empal gentong sekitar jam limaan ?”.
“Maksudnya, Suparman patut dicurigai, begitu ?” tanya balik Adit.
“Jawab saja dulu. Apakah Suparman terbiasa makan pagi jam limaan ?” pinta Fia.
“Dia terbiasa sarapan pagi-pagi, jika ada kerja lembur memasak empal gentong untuk pesanan dalam porsi yang banyak” jelas Adit.
“Informasi yang menarik” sela Fia.
“Apanya yang menarik ?” tanya Adit.
“Empal gentong yang dimakan oleh Suparman, apakah itu termasuk masakan untuk pesanan atau untuk keperluan warung sehari-hari ?” jelas Fia.
“Berarti, kau telah mengasumsikan Suparman memasak dua kali, begitu ?”.
“Bukan asumsi, tapi sebuah pertanyaan yang harus kita dapatkan jawabannya langsung dari Suparman” jelas Fia lagi.
Seno ikut menanggapi. Katanya, “tidak ada nilai pentingnya buat penyelidikan kita”.
“Kita perlu tahu, empal gentong yang diracuni itu, masakan yang diperuntukkan buat apa, buat pesanan ataukah buat warung ?” balas Fia.
“Analisa kita akan menjadi melebar kemana-mana, tidak fokus” kata Seno mengingatkan.
“Kita perlu mengembangkan berbagai kemungkinan yang masih tersedia, apalagi saat kita menghadapi kebuntuan” kata Fia berdalih.
Seno mulai menyindir Fia. “Itulah, mengapa kamu menghilang seharian, untuk melakukan pengembangan kemungkinan, sendirian ?” ucapnya.
“Aku hanya mencoba ikuti feelingku, dan menguji insting investigasiku” kata Fia membela diri.
“Sudahlah. Apapun kemungkinan yang dikembangkan, semua akan kembali pada ketersediaan bukti yang kuat. Jika tidak, kita akan terjebak pada analisa pengembangan yang tidak berkesudahan” potong Adit, seperti hendak menengahi.
Seno menambahkan, “Atau, dengan terpaksa polisi harus melakukan rekayasa”.
Fia terlihat sedang membuka tasnya. Lalu, ia membuka-buka amplop yang berisi lembaran foto-foto yang baru saja dicetaknya. Ia mengambil satu foto, kemudian ditunjukkan kepada Adit. Katanya,
“Apakah foto ini, termasuk sesuatu yang bisa mengarah pada penemuan bukti yang kuat, seperti katamu ?”.
Adit mengamati benar foto yang ditunjukkan oleh Fia. Seno pun ikut menggeser tempat duduknya, karena ia ingin menyaksikannya pula. Foto itu memperlihatkan sebuah kaleng kecil yang berada di salah satu sudut gubug kumuh, tempat tinggal si ibu.
“ENDRIN, RACUN PEMBASMI TIKUS PALING HEBAT” ucap Adit saat membaca tulisan yang tertera di kaleng itu.*** By Srie
(Bersambung.....)
Tidak ada komentar
Kami menghargai komentar yang relevan dengan konten tulisan, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, dan tidak mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).