Makna Puasa Dalam Totalitas Kehidupan Kaum Beriman
Oleh Sri Endang Susetiawati
Puasa, adalah ibadah yang sangat private, ibadah yang sangat bersifat pribadi. Puasa berbeda dengan pilar rukun Islam yang lain, yakni syahadat, sholat, zakat dan haji. Dalam hadits Qudsi disebutkan bahwa “ Puasa adalah untuk-Ku semata, dan Akulah yang menanggung pahalanya”. Artinya, seseorang yang berpuasa hanya dapat diketahui oleh Allah, dan dirinya sendiri.
Lantas, untuk apa kita berpuasa ? Puasa adalah untuk menjadi lebih bertakwa. Takwa adalah kesejajaran iman dan tali hubungan dengan Allah (hablu minallah), yang merupakan dimensi vertikal yang benar. Dengan berpuasa, diharapkan kita akan lebih baik dalam hal berhubungan dengan Allah.
Hubungan yang baik dengan Allah, berarti keinsyafan yang tinggi bahwa setiap sikap, gerak dan langkah dalam hidup seseorang tidak akan terlepas dari pantauan Allah. Itulah, mengapa seharusnya seseorang yang mengaku beriman dan berhubungan baik dengan Allah memiliki moralitas yang tinggi. Karena, ia tidak lagi hanya terikat pada aturan norma hukum, norma sosial dan norma agama yang masih terkait dengan faktor sesama manusia. Akan tetapi, ia lebih tinggi lagi terikat oleh pantauan Allah, di manapun ia berada, dan ke manapun kaki melangkah.
Mengapa kita harus memiliki hubungan yang baik dengan Allah ? Karena, fitrah manusia pada dasarnya adalah berAllah, cenderung pada segala kesucian, kebaikan, keindahan dan kebenaran. Lokus, tempat dimana kesadaran kesucian manusia pada fitrahnya berada pada hati nurani. Nurani, yang berasal dari kata bahas Arab, yaitu nur artinya bersifat terang. Jika kita memiliki hati yang bersih dan terang, maka akan mampu menerangi jalan hidup kita pada jalan yang baik dan benar.
Namun, manusia memiliki kelemahan yang senantiasa terancam, dan berpotensi untuk menyimpang dari hati nuraninya, disebabkan oleh perbuatan dosa. Dosa adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Karena itulah, maka dosa biasa disebut juga sebagai sesuatu yang munkar (tunggal) atau munkarat (jamak), yang artinya sesuatu yang diinkari atau ditolak oleh hati nurani.
Jika seseorang sering melakukan perbuatan dosa, maka lama-kelamaan hatinya akan mengalami kegelapan (zhulm), dan ia sendiri akan menjadi “manusia gelap” atau zalim (zhalim). Hatinya tidak lagi bersifat nurani (hati yang terang atau menerangi), tetapi telah berubah menjadi hati zhulmani (hati yang gelap).
Dalam keadaan hati zhulmani, hati yang kehilangan sinar yang terang, orang akan kehilangan kesadaran untuk dapat membedakan antara baik dan buruk, atau benar dan salah. Baginya, hidup dianggap sama saja, sehingga ia akan terjerembab ke dalam lembah jalan hidup kesesatan. Inilah, sejatinya pangkal dari kesengsaran hidup manusia, baik kesengsaraan ruhani maupun jasmani.
Mengapa seseorang terjebak dalam perbuatan dosa ? Karena, manusia memiliki banyak kelemahan. Antara lain, manusia biasa tidak tahan untuk menanggung derita walau bersifat untuk sementara, meski di kemudian hari akan ada kebahagiaan yang besar. (Q.S. 4 : 27). Manusia cenderung memilih hal-hal yang bersifat segera, atau jangka pendek karena daya tariknya, dan lengah atau mengabaikan akibat buruk yang akan ditimbulkan dalam jangka panjang (Q.S. 75 : 20).
Sebenarnya, manusia akan merasakan kebahagiaan hidup dalam kebaikan dan kebenaran, kerana fitrah manusia adalah mahluk yang cenderung pada kebaikan dan kebenaran. Akan tetapi, karena kelemahan yang dimilikinya, yakni tidak biasa menanggung derita, dan cenderung lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat segera, maka manusia akan mudah untuk tergoda dan terjebak dalam perbuatan dosa. Itulah, mengapa dalam agama, istilah dosa biasa diartikan juga sebagai perbuatan apa saja yang dalam jangka pendek membawa kesenangan, namun dalam jangka panjang akan memperoleh kesengsaraan.
Puasa adalah salah satu jalan agar manusia dapat terlatih dalam menahan diri. Agar manusia terbiasa mampu menahan beban “derita” untuk sementara waktu demi kebahagiaan di hari mendatang. Agar manusia terlatih dalam menghadapi berbagai bentuk godaan berupa kesenangan yang sesaat, namun berakibat pada kesengsaraan di hari kemudian. Agar manusia dapat terhindar dari akibat kelemahan dirinya, hingga terjerembab dalam perbuatan dosa.
Allah mencontohkan kisah Adam yang tak tahan menahan godaan untuk menikmati kesenangan sesaat dalam memakan buah khuldi. Akibatnya, Adam dan pasangannya harus terusir dari surga, alam ideal penuh kesenangan ke alam bumi yang harus memulai perjuangan hidupnya dari nol dengan bersusah payah. Pada kisah lain, Nabi Yusuf mampu menahan godaan dari kesenangan yang sesaat yang dilakukan oleh Zulaikha, seorang perempuan terhormat, istri dari salah seorang pembesar di pemerintahan Mesir.
Itulah, mengapa dalam kehidupan manusia harus ada masa untuk melakukan puasa. Sebuah praktek pelatihan diri yang telah dilakukan oleh para umat terdahulu, jauh sebelum umat Islam lahir. Sebuah masa, dimana manusia dapat melakukan pemeliharaan diri setelah sebagian terbesar waktu sebelumnya disibukkan oleh kehidupan yang serba duniawi.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. 2:183)
Istilah puasa sendiri merupakan terjemahan dari kata shiyam atau shawm dalam bahasa Arab, yang maknanya berarti menahan diri. Yaitu menahan diri dari dorongan atau desakan dalam memenuhi kebuAllah biologis yang menjelma menjadi dorongan “hawa nafsu”. Tentu saja, menahan diri pula dari segala dorngan untuk berbuat buruk. Sebuah Hadits Nabi mengatakan,
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, dan (tidak meninggalkan) kebodohan (kejahatan)-nya, maka Allah tidak peduli bahwa orang itu tidak makan dan tidak minum (puasa)”.
Artinya, bila seseorang menahan lapar dan dahaga, namun tidak dapat menahan diri dari perbuatan buruk, seperti berdusta, melakukan fitnah, menipu, menyakiti orang lain, korupsi, dan seterusnya, maka puasanya dianggap sia-sia belaka di hadapan Allah. Hal ini tentu saja amat wajar, karena puasa sejatinya adalah menghadirkan Allah dalam kehidupan diri sendiri. Konsekuensi dari keinsafan yang mendalam akan kehadiran Allah dalam kehidupan seseorang adalah terbangunnya moralitas yang tinggi, budi pekerti luhur, atau akhlaqul karimah.
Masalah menahan diri juga sangat berkaitan dengan kenyataan bahwa setiap tindakan yang hanya mementingkan diri sendiri (egois), tentu akan berlawanan dengan nilai budi pekerti yang luhur atau akhlaqul karimah, akhlak yang mulia. Egoisme berangkat dari ketidakrelaan seseorang untuk mau mengalah pada orang lain, saat egonya “menderita” walau hanya bersifat sementara. Pada akhirnya, ketidakmampuan dalam menahan egosime inilah asal muasal dari timbulnya berbagai masalah sosial, seperti pertengkaran, pelanggaran hukum, konflik hingga peperangan yang memakan banyak korban.
Betapa sangat pentingnya puasa bagi kehidupan diri seseorang, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, namun tidaklah begitu mudah untuk dilakukan. Orang cenderung untuk menghindari, karena puasa dianggap membatasi kesenangan yang sesaat, atau bahkan terkesan mengajak untuk merasakan “penderitaan”. Sebuah ajakan yang enggan dilakukan karena dianggap berlawanan dengan karakter manusia pada umumnya.
Terkait dengan masalah tersebut, maka Allah memberikan anjuran yang bersifat persuasif agar manusia mau melakukan puasa. Antara lain, bahwa selama berpuasa pintu rahmat terbuka dengan pelipatgandaan pahala, sebuah ganjaran yang jauh lebih tinggi atas amal baik bila dibandingkan saat dilakukan pada hari-hari biasa. Saat berpuasa, pintu ampunan kian terbuka atas dosa-dosa yang pernah diperbuat selama bulan-bulan sebelumnya. Hingga, saat berpuasa berarti telah mengharamkan diri agar terhindar dari siksa api neraka, kelak.
Sungguh sebuah bentuk persuasi Allah yang sangat mengagumkan. Salah satu bentuk kasih sayang Allah atas mahluknya. Mengapa ? Karena, toh sebenarnya puasa itu dibutuhkan oleh manusia sendiri, demi kepentingan dirinya sendiri. Allah, sejatinya sama sekali tidak memerlukan puasa yang dilakukan oleh manusia.
Oleh karena itu, seandainya manusia telah memahami bahwa puasa adalah kebuAllah yang sangat penting bagi dirinya, maka anjuran persuasif dari Allah bukanlah menjadi bagian yang terpenting lagi. Pahala, bukan lagi menjadi sesuatu yang harus dikejar dan ditumpuk-tumpuk hingga menjulang tinggi untuk mencapai surga. Begitu pun, dosa bukan lagi sesuatu yang harus dihindari karena ketakutan atas api neraka. Kecuali bagi anak kecil yang masih perlu proses pembelajaran pada tahap awal, atau mereka yang sudah dewasa, namun mentalitas spiritualnya masih belum beranjak dari usia anak-anak kecil mereka.
Memang, sudah saatnya kita bisa berpuasa secara lebih dewasa. Bahwa berpuasa adalah bagian dari penempaan diri dalam meningkatkan kemampuan menahan diri, atau mengendalikan diri sebagai bentuk dari hubungan yang baik dengan Allah. Bahwa puasa, hakikatnya adalah memulihkan kembali kondisi hati nurani yang telah sempat terkotori.
Sebagai sebuah bagian dari siklus hidup manusia, maka puasa merupakan bagian dari upaya memelihara kefitrahan manusia. Meminjam istilah sastrawan Dante dalam buku syairnya Divina Comedia, melalui kutipan Cak Nur (Almarhum Nurcholish Madjid), disebutkan bahwa manusia memulai hidup dalam alam kebahagiaan, alam paradiso, karena manusia menurut Islam dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Namun, karena kelemahannya sendiri, manusia mengalami pengotoran hati nuraninya, sehingga lama-kelamaan akan jatuh dan terseret ke alam kesengsaraan, alam inferno. Maka, datanglah bulan Ramadhan sebagai rahmat Allah kepada manusia, untuk memberi kesempatan membersihkan diri dan bertobat, dan inilah proses di alam purgatorio.
Dengan asumsi bahwa proses itu dijalaninya dengan baik dan sukses, maka pada akhir Ramadhan manusia akan kembali ke alam kesuciannya sendiri, yaitu fitrahnya, yang membawa kebahagiaan, masuk lagi ke alam paradiso. Kebahagiaan inilah yang dilambangkan dalam Hari Raya Lebaran, sebagai simbol kebebasan dari dosa, pada hari Idhul Fitri. ‘Id Al-Fithr”,berarti kembalinya fitrah manusia.
Selanjutnya, usai sholat Idul Fitri terjadi saling memaafkan, sebagai upaya memperkuat silaturahmi (silat al-rahm), yang berarti tali hubungan kasih sayang antar sesama manusia. Ucapan salam yang berasal dari doa min al aidzin wa al faidzin pun selalu terlontar saat bertemu dengan sesama. Ucapan yang populer saat berlebaran itu merupakan kependekan dari doa ”fa ‘ala-na l-Lah-u min al aidzin wa alfaidzin wa al maqbulin”, yang berarti semoga Allah menjadikan kita semua tergolong mereka yang kembali (ke fitrah kesucian), dan beruntung, serta diterima (segala amal perbuatan kita).
Istilah paradiso, yang sepadan dengan kata firdaus dalam bahasa Arab, yang berarti juga surga, adalah pola kehidupan bahagia yang digambarkan dengan penuh kedamaian. Maka, surga pun disebut sebagai Dar Al-Salam (dibaca : Darus Salam), yang berarti “Negeri Perdamaian” (Q.S. 6:127 dan Q.S. 10:25). Sesama penghuni surga saling menyapa dengan ucapan “salam, salam”, yang berarti “Damai, damai...”. Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa salah satu segi kebahagiaan hidup ialah tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal, yang intinya adalah kedamaian.
Secara individual, makna kedamaian dalam hati selama bulan puasa diungkapkan melalui turunnya malam Lailatul Qodar, malam yang dianggap lebih baik dari seribu bulan. Melalui kegiatan puasa, hati seseorang diharapkan akan mengalami kedamaian, dimana malam Lailatul Qodar merupakan saat yang paling tepat terjadinya kalibrasi atas kedamaian hati. Hanya mereka yang hatinya benar-benar damai, yang akan merasakan kedamaian yang sangat luar biasa saat malam Lailatul Qodar menghampiri, hingga terbit fajar.
“.... Tahukah engkau, apakah (malam) Lailatul Qodar itu ? (Malam) Lailatul Qodar itu lebih baik baik daripada seribu bulan. Turunlah para malaikat dan ruh (Jibril) pada malam itu dengan izin Allah mereka untuk mengatur tiap-tiap urusan. (Dalam keadaan) DAMAI-lah malam itu, hingga terbit fajar” (Q.S. 97:2-5)
Kedamaian, memang bukan hanya inti dari kebahagiaan hidup manusia. Bahkan, kedamaian adalah inti dari prasyarat seorang manusia saat hendak beralih secara baik-baik dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat, melalui pintu kematian. Hanya manusia yang hatinya TENANG dan DAMAI-lah yang akan disambut oleh Allah menjelang kematian, untuk menuju surga-Nya.
“Hai, nafsu Muthmainnah (jiwa yang TENANG, DAMAI). Kembalilah kamu kepada Allahmu dengan (hati) ridha dan diridhoi (Allah). Maka, masuklah kamu dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan, masuklah kamu ke dalam surga-Ku” (Q.S. 89:28-30).
Demikianlah, semoga kita dapat memahami makna puasa dalam konteks totalitas kehidupan sebagai seorang hamba Allah. Puasa, adalah bagian penting agar kita selalu terjaga dalam keadaan fitrah atau suci, dalam keadaan jiwa yang tenang dan damai. Sehingga, usai puasa kita akan termasuk sebagai orang-orang yang menang, dan jelang kematian akan termasuk sebagai orang-orang yang dipanggil Allah, menuju surga-Nya.*** By Srie
Salam persahabatan
Srie
Tidak ada komentar
Kami menghargai komentar yang relevan dengan konten tulisan, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, dan tidak mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).