Puasa, Gagal Menekan Korupsi?
Adakah hubungan puasa dengan korupsi ? Harusnya ada. Puasa harusnya dapat menekan praktek perilaku korupsi di negeri ini. Sejatinya, puasa harus dapat melatih diri agar terbiasa mampu menahan diri dari hal-hal yang tidak sepatutnya. Apalagi korupsi, perbuatan yang jelas-jelas dilarang dalam ajaran agama. Mengambil sesuatu yang bukan haknya adalah tindakan yang tercela, merupakan tindakan jahat kemanusiaan, yang dikutuk oleh Tuhan.
Lantas, mengapa praktek korupsi masih tetap marak di tengah masyarakat yang selalu menyambut ramai setiap kali datang bulan puasa ? Sebuah ironi yang cukup menyesakkan dada, manakala suatu negeri yang telah menjadikan bulan puasa sebagai bagian dari budaya nasionalnya, namun korupsi terus saja merajalela. Adakah yang salah dengan puasa di negeri ini ?
Puasa adalah bagian dari cara Tuhan untuk kepentingan manusia. Puasa telah dilakukan oleh umat manusia sejak berabad-abad lamanya, jauh melampaui sebelum Islam ada. Inti puasa adalah menghadirkan Tuhan dalam diri manusia. Nilai-nilai ilahiah harus menjadi tuntunan dalam sikap dan perbuatan manusia. Menghadirkan Tuhan, berarti meyakini bahwa Tuhan selalu melihat, memperhatikan dan mengawasi atas perbuatan diri manusia.
Dalam puasa, manusia dilatih kembali agar merasakan kehadiran Tuhan. Agar manusia lebih mampu dalam menahan diri atas sesuatu yang dilarang, atas sesuatu yang bukan haknya. Meskipun, dia tahu tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya. Namun, dia yakin, bahwa Tuhan akan selalu hadir mengawasi.
Inilah, inti pokok dari pesan puasa. Membangun ketegaran etik, menjunjung moralitas yang tinggi, dan mengembangkan kepribadian yang luhur, berakhlak mulia. Bukankah, inti ajaran Islam adalah mengembangkan akhlakul karimah ? Korupsi, adalah jelas-jelas akhlak yang jahat, akhlaqul madzmumah. Artinya, berpuasa adalah memerangi korupsi, sebagai bagian dari akhlak yang jahat.
Tampaknya, spirit dari puasa belum sampai pada inti pesannya. Amat mungkin, puasa masih merupakan bagian dari ritus keagamaan yang sekedar tidak makan dan minum saja. Bisa juga, puasa hanya sekedar untuk mengejar pahala. Suatu pemahaman yang tidak salah, namun belumlah menginjak dewasa. Puasa masih dilakukan sebagai respon atas anjuran (persuasi) Tuhan, bagi mereka (biasanya anak-anak) yang masih enggan. Puasa, belum dipahami sebagai sebuah kebutuhan diri sendiri untuk dapat mengembangkan kepribadian yang luhur.
Akhirnya, puasa hanya akan membekas pada seseorang di saat bulan puasa saja. Di luar itu, mereka akan kembali pada pribadi yang aslinya sebelum berpuasa. Di luar itu, mereka akan kembali mempraktekkan akhlak jahatnya, termasuk korupsi. Tuhan, dengan demikian hanya hadir saat bulan puasa saja. Selebihnya, Tuhan diasingkan oleh mereka entah ke mana. Sesungguhnya, mereka merupakan diri pribadi yang terasing dari nilai-nilai ketuhanan.
Sampai di sini, puasa telah gagal melahirkan budaya bangsa yang berakhlak mulia. Sebuah budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, dan memegang teguh etika dan moralitas yang tinggi. Dalam hal ini, puasa tidak memiliki relevansi yang kuat atas upaya bersama dalam mengembangkan budaya nasional yang anti korupsi.
Tentu saja, perilaku korupsi tidak hanya terkait dengan masalah budaya bangsa. Korupsi pun amat terkait dengan sistem politik dan hukum yang ditegakkan di negeri ini. Pendekatan kultural, perlu diimbangi dengan pendekatan struktural.
Adalah jelas, negeri ini tidak hanya membutuhkan orang-orang yang berkepribadian yang baik dan bermoral. Namun, negeri inipun memerlukan sistem politik dan hukum yang mampu menjamin orang-orang yang baik dan bermoral dapat terus tegak dan konsisten dalam memerangi korupsi. Artinya, spirit puasa pun harus didukung dalam sistem politik dan hukum yang benar-benar mampu memerangi korupsi.
Puasa, seharusnya dapat memberi semangat bagi bangsa agar dapat memecahkan masalahnya. Salah satu masalah itu, adalah KORUPSI! Selamat menyongsong ibadah puasa.*** by Srie
Salam Persahabatan
Srie
Tidak ada komentar
Kami menghargai komentar yang relevan dengan konten tulisan, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, dan tidak mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).