Cerpen : Sang Koruptor
Cerpen : Sang Koruptor
Oleh Sri Endang Susetiawati
Dia, masih saja tak percaya saat mendengar kabar bahwa seseorang yang ditangkap oleh KPK itu adalah sahabatnya sendiri. Hanya termenung, berdiam diri di atas sajadah usai menunaikan sholat Isya.
Kekayaan telah menjadi obsesi yang begitu kuat bagi sebagian orang. Uang adalah tujuan. Nafsu serakah adalah tuhan, sang pengendali atas hidupnya kini. Kekuasaan, menjadi pilihan yang wajib, untuk mempertahankan akses atas beragam kenikmatan duniawi. Bila perlu untuk selamanya, seumur hidupnya, hingga anak cucu, cicit keturunannya yang ke tujuh.
Lalu, dimanakah nilai-nilai kejujuran itu berada ? Mungkinkah, kini ia hanya menempati lorong kecil di sudut-sudut terpencil ? Terlupakan begitu saja oleh bermacam kesibukan dan bisingnya lalu lalang orang untuk berebut harta dan uang.
Oh, ini zaman apa ? Mungkinkah ini zaman edan ? Zaman, manakala kita waras, maka tidak akan kebagian ?
Sore hari di hari yang ke tujuh sahabatnya di tahan. Dia menemui sahabatnya dari balik jeruji sel tahanan.
“Apa yang telah terjadi, sahabatku ?” tanya dia pelan.
“Percayalah pada saya. Ini murni, hanya fitnah” jawabnya agak gemetar.
“Maksudnya ?”
“Ada orang yang tidak suka dengan apa yang telah diperoleh saya”
Dia hanya terdiam. Matanya memandangi wajah sahabatnya dengan sorot yang tajam. Lalu, empat pasang mata kedua sahabat itu beradu.
“Bagaimana aku bisa mempercayaimu, sahabatku ?” tanya dia.
Sang sahabat terkaget. Pertanyaan itu begitu terasa menusuk penuh heran. Mukanya berubah, kini terlihat mulai merah padam.
“Fakta hukum, nanti akan bicara ! Bahwa saya pada akhirnya akan bebas demi hukum, sahabat !”
“Hm... Bisa jadi begitu, sahabatku”
“Apa ? Bisa jadi ?” tanya sahabat dengan nada yang meninggi.
“Betul. Karena, sorot matamu berkata secara berbeda dengan mulutmu, sahabat”
“Gila, apa !” ucapnya mulai terlihat penuh emosi.
“Benar, saya memang gila, sahabat”
Beruntung. Dia tertolong oleh seorang penjaga sel untuk tidak lagi memperpanjang dialog yang dianggapnya sudah tidak perlu. Pikirnya, hanya akan buang-buang waktu saja.
“Maaf, Pak. Waktu besuknya sudah habis” ucap penjaga sel.
“Oh iya, terima kasih telah mengingatkan” jawabnya sembari tersenyum.
Tidak ada lagi kata-kata yang terucap. Hanya kalimat mohon pamit untuk meninggalkan sel bersama penghuninya. Jabat tangan erat masih dilakukan. Lalu, tak berapa lama kemudian dia pun pergi. Dari balik tahanan dengan jeruji besi yang terus dipegangi, sang sahabat masih sempat mengiringi kepergiannya dengan tatapan kedua matanya yang kosong.
Hari telah memasuki bulan kedua, di minggu yang pertama sejak sahabatnya di tahan. Kedua bola matanya, kini tidak dapat lagi berbohong. Ada kesedihan yang sangat mendalam atas nasib yang menimpa sahabatnya. Hanya berita di koran yang secara rinci dapat mengetahui bagaimana sang sahabat mengakhiri hidupnya.
“Tersangka Koruptor Tewas Bunuh Diri dengan membenturkan kepala ke dinding sel tahanan hingga pecah !” demikian berita di koran itu.
Di tengah kerumunan sejumlah orang yang datang melayat, dia masih sempat untuk ikut menyolatkan sahabatnya.
“Ya Allah, ampunilah sahabatku, bila Engkau masih sudi untuk mengampuninya” ucapnya dalam hati seraya menengadahkan kedua tangan di depan jasad sahabat yang telah terbujur kaku usai disholatkan.
Berikutnya, hanya suara sirine ambulance yang mengambil alih, hingga kemana sang koruptor itu hendak dibawa pergi. ***
Salam Persahabatan
Srie
Salam kenal Bu Guru.
BalasHapus