Berfilsafat, Haruskah Melepas Agama ?
Oleh Sri Endang Susetiawati
Benarkah kalau mau berfilsafat yang benar harus melepaskan keagamaan kita ? Jawabannya : Tidak harus ! Mengapa ? Karena, berfikir kritis dan bisa berfilsafat secara benar juga bisa dilakukan oleh mereka yang masih beragama. Sebaliknya, tidak ada jaminan bahwa mereka yg tidak beragama atau yang melepas agama secara otomatis dapat berfikir kritis dan berfilsafat dengan benar pula. Berfilsafat, adalah lebih pada masalah kemampuan berfikir filsafat yang dimiliki oleh seseorang.
Jadi, apa masalahnya ? Pahami dulu apa yang dimaksud dengan agama oleh mereka yang menganggap agama itu tidak perlu ada dalam filsafat. Mengapa harus dipahami ? Ya, karena bisa jadi, apa yg dipahami oleh mereka tentang agama, sehingga harus dilepaskan itu adalah berbeda dengan dengan apa yang dipahami oleh orang lain, termasuk oleh mereka yang dikritisi itu. Bukankah, Tuhan sendiri menantang manusia untuk berpikir kritis dan membuat tandingan atas kata-kata Tuhan ?
Masalah filsafat, adalah bagaimana kita mampu berfikir kritis tentang banyak hal secara mendasar. Bagaimana kita mampu berfikir sesuai nalar yang logis, analitis dan sistematis yang kira-kira dapat diterima oleh para pemikir filsafat lain sebagai sesuatu yang sesuai dengan standar berfikir filsafat. Masalah berfilsafat adalah bagaimana kita mampu mengembara secara nalar untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya atas sesuatu yang kita pikirkan atau atas apa yang ada dibalik suatu pengetahuan tertentu.
Tentu saja, karena sifatnya yang kritis dan mendasar, maka berfikir filsafat haruslah siap untuk mempertanyakan segala sesuatu yang selama ini dianggap telah disepakati atau dianggap sebagai sebuah kebenaran. Kita jangan langsung percaya atas asumsi atau pengetahuan yang telah dianggap sudah umum diketahui. Justru, kita harus membongkarnya habis-habisan, kemudian melakukan kritik, menguji kesahihannya berdasarkan pijakan logika nalar manusia.
Nah, masalah berikutnya, adalah bahwa manusia hidup tidak selalu harus menjadi filsuf, sebagaimana halnya Hegel, Imanuel Kant, Bertrand Russel, Aristoteles, Plato, Socrates, Ibnu Ruysd dan lain-lain. Mengapa ? Karena, masih banyak “profesi” lain yang telah menunggu agar dunia ini menjadi seimbang. Perlu ada pemikir filsafat, perlu juga saintis, akademisi, teknisi, disainer, karyawan, buruh, pemain bola, pengurus jenazah, penyanyi, tukang gali kubur, juga pak “Haji” tukang berdoa saat ada acara-acara sosial tertentu.
Lalu, apa masalahnya filsafat dengan agama ? Tidak ada masalah. Bahwa bagi mereka yang mau berfilsafat, ya silakan saja. Bagi mereka yang mau berfilsafat dengan melepas agama ya silakan juga. Bagi mereka yang berfilsafat dengan tidak beragama, silakan juga. Dan, bagi mereka yang mau beragama tanpa harus berfilsafat, tentu silakan saja. Lalu, apa masalahnya ? Masalahnya, adalah jika masing-masing pihak menganggap dirinya paling benar kemudian menganggap pihak lain adalah bodoh dan .....
Meski berfilsafat itu penting, namun tidak harus ada anggapan bahwa beragama yang baik haruslah terlebih dahulu menjadi seorang ahli filsafat, atau ikut berfikir secara filsafat. Bukankah, para sahabat nabi pun tidak banyak yang tahu tentang filsafat, namun penghayatan keagamaanya justru lebih baik ? Karena, memang agama hakikatnya bukanlah filsafat, namun soal penghayatan spiritual, soal pesan-pesan moral, juga sebagian berupa petunjuk praktis dalam hidup. Meski demikian, agama pun bisa didekati dari cara berfikir filsafat. Bukankah Bilal, sahabat Nabi, hanya tahu Islam itu adalah AHAD, sama sekali tidak kenal filsafat, namun siapa yang berani katakan bahwa Bilah tidak memahami Islam secara baik ?
Saya sendiri berpendapat, bahwa filsafat itu diperlukan bagi mereka yng ingin memahami suatu hakikat pengetahuan yang lebih mendasar dan utuh atas sesuatu dibalik pemahaman agama atau pemahaman apapun yang telah ada di masyarakat. Bahwa ada pencerahan dari cara berfikir filsafat. Bahwa ada kritik sosial yang mengena, agar seseorang lebih memiliki kesalehan secara sosial, di samping kesalehan ritual (pribadi).
Namun, penghayatan atas agama sangat ditentukan oleh masing-masing orang sesuai dengan kadar dan kepuasan spiritualnya masing-masing. Ada yang cukup ikut mengaji pada ustadz, ada yang cukup dengan apa yang didapat dari bangku sekolah atau madrasah. Ada yang cukup setelah membaca sekian banyak buku, ada yang cukup setelah ikut berdiskusi dan berdebat kian kemari.
Ada yang cukup ketika telah berfikir filsafat ke sana ke sini, bongkar sana bongkar sini. Ada yang merasa cukup setelah mengalami sendiri sebuah peristiwa yang sangat berkesan bagi dirinya sendiri, dan lain-lain. Dan, ada yang juga tidak cukup-cukup saja setelah melanglangbuana kemana-mana, bahkan setelah melepas agamanya sekalipun. Mungkin, waktu saja yang akan menentukannya. Mungkin, ada juga yang tidak cukup selamanya hingga dibuat “bingung” berketerusan hingga akhir hayatnya.
Dalam kaitan ini, maka berfilsafat perlu proporsional, bahwa sejatinya filsafat bukanlah demi filsafat sendiri. Namun, sebagaimana bidang pemikiran manusia yang lain, seperti ilmu agama, sains, teknologi, seni dan lain-lain, maka filsafat pada akhirnya haruslah demi kemanusiaan itu sendiri. Bahwa dengan filsafat, ada hal yang dapat disumbangkan secara positif terhadap kemajuan kemanusiaan. Tentu, bukan berlaku sebaliknya, malah melahirkan hal-hal lain yang anti kemanusiaan.
Bahwa masih banyak hal yang menunggu peran aktif siapapun, termasuk kaum filsuf, untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan bersama yang bersifat universal, antara lain masalah pangan, masalah kemiskinan, masalah lingkungan, masalah energi, masalah kekerasan, masalah ketidakadilan, masalah HAM, dan lain-lain. Menurut saya, justru masalah-masalah inilah yang mendesak kita bersama, para filsuf, saintis, akademisi, teknisi, politisi, karyawan, buruh, tukang becak, pelajar, mahasiswa, penulis, kaum beragama atau kaum tidak beragama, dan lain-lain, untuk turut aktif dalam memecahkan masalah kemanusiaan universal secara bersama-sama pula.
Bahwa, kini bukan saatnya lagi, atas nama apapun untuk menyarankan kekerasan, atau memberikan penghinaan kepada pihak lain yang dianggap berbeda. Tentu, kita punya cara-cara lain yang dianggap lebih elegan dan manusiawi, serta lebih bermartabat dan beradab. Dan, saya kira untuk inilah salah satunya manfaat dari berfilsafat (aspek aksiologis filsafat), yakni bagaimana kita dapat membangun sebuah hubungan antar manusia yang lebih adil dan beradab.
Bagaimana dengan pendapat Anda ?
Demikian, terima kasih
Salam Persahabatan
Srie
mantap
BalasHapusTerkadang orang yang terlalu sering berpikir kritis suka membuat omnipotence paradoks. Keren, terima kasih Bu wawasannya
BalasHapusRafly Perdana Kusumah [27]
X MIPA 4'24