Stephen Hawking Tidak Percaya Tuhan, Mengapa ?
Oleh Sri Endang Susetiawati
Jujur saja, saya masih enggan untuk menulis tentang pemikiran Stephen Hawking (SH), seorang ilmuwan yang kini menjabat sebagai Ketua Royal Society, sebuah jabatan yang pernah dipegang oleh ilmuwan terkenal, Isaac Newton pada abad ke-17.
Lalu, ketika ada pernyataan SH di sejumlah media tentang Surga yang dianggapnya cuma dongeng, saya pun masih belum tergerak untuk menulis. Mengapa? Karena, pernyataan itu bukanlah istimewa, karena saya sedikit sudah tahu bagaimana jalan pikiran SH, melalui buku yang ditulisnya sendiri, “ A Brief History of Time”.
Dalam buku yang menjelaskan tentang kejadian alam semesta, dari dentuman besar (Big Bang) hingga lubang hitam (Black Hole) itu, masalah keberadaan Surga bukanlah tema yang menjadi perhatiannya. Perhatian SH, adalah pada apakah dalam peristiwa alam semesta itu, kehadiran Tuhan dirasakan perlu ada ataukah tidak. Kesimpulan SH, semesta ini ada dan berproses sejak Big Bang, kemudian mengembang, mengerut lagi hingga tercipta Black Hole, dianggap tidak memerlukan kehadiran (campur tangan) Tuhan. Sehingga, dengan demikian, dia berkesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada.
Kesimpulan inilah yang menurut saya perlu sedikit diberi penjelasan. Bukan untuk meng-counter pemikiran SH, namun hanya sedikit memberikan pemahaman yang lebih proporsional atas pemikiran dia sendiri. Untuk apa? Agar kita dapat memahami konteks dari kesimpulan SH terkait bahwa tidak perlu kehadiran Tuhan, dan Tuhan dianggap tidak ada, sehingga Surga pun dianggap sebagai dongeng belaka. Tentu saja, penjelasan dibawah ini hanyalah merupakan penjelasan dari saya sebagai seorang awam.
Semesta yang Mengembang
Uraian Stephen Hawking (SH) tentang asal usul dan perkembangan jagat raya (semesta) merupakan kelanjutan dari pemikiran para ilmuwan sebelumnya. Salah satunya, adalah berdasarkan hasil pengamatan Edwin Hubble (1929), yang menyatakan bahwa jagat raya ini (dia mengamati galaksi) sedang bergerak mengembang. Sebagai konsekuensinya, maka Hubble menyarankan bahwa di masa lalu yang sangat lama sekali, akan ada suatu masa, yang disebut dentuman besar (big bang), ketika jagat raya itu tidak terhingga kecilnya, dan tidak terhingga rapatan massanya. Ketika itu pula, hukum-hukum sains yang dikenal manusia hingga saat ini akan tidak berlaku, sehingga para ilmuwan dianggap tidak akan mampu menjelaskan peristiwa saat itu, dan apalagi untuk meramalkannya.
Bahwa semesta atau jagat raya ini memuai atau mengembang adalah sangat penting bagi perkembangan sains dan pengetahuan manusia tentang alam semesta. Mengapa ? Karena, hingga saat itu dan beberapa tahun berikutnya, manusia menganggap jagat raya ini sebagai sebuah keadaan yang statis, tidak bergerak, dalam konteks tidak mengembang, saling menjauh antar sejumlah benda-benda langit raksasa, seperti antar bintang atau antar galaksi. Mereka yang meyakini semesta dalam keadaan yang statis, adalah termasuk Aristoteles, Isaac Newton, juga Albert Einstein.
Adalah menarik, bahwa ajaran agama (Islam) memberikan sinyal mengenai dinamisnya jagat raya yang mengembang, termasuk sinyal bahwa di suatu masa semesta ini pernah menyatu. Tentu, sinyal ini tidak perlu berlaku bagi mereka yang tidak percaya pada Tuhan atau tidak beriman atas ajaran Islam. Perhatikan uraian berikut ini, yang saya kutip dari buku Mukjizal Al-Qur’an karangan M. Quraish Shihab.
“Tidakkah orang-orang kafir memperhatikan bahwa langit dan bumi, tadinya merupakan satu yang padu (“rotqo”, gumpalan), kemudian Kami memisahkannya dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Maka, mengapa mereka tidak juga beriman ?” (Q.S. Al Anbiya, 21 : 30).
“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskan/mengembangkannya” (Q.S. Adz-Dzariyat, 51 : 47).
Bagi orang yang beriman, maka ayat-ayat di atas kian menambah keimanannya. Sebagaimana M. Quraish Shihab menjelaskan : “Sekali lagi, kita boleh bertanya, dari mana Nabi Muhammad SAW mengetahui informasi di atas ? Tidak ada jawaban yang paling logis, kecuali bahwa yang demikian itu adalah informasi yang bersumber dari Tuhan Yang menciptakan alam raya ini”.
Dimana Letak Perbedaannya?
Lalu, masalahnya terletak di bagian manakah, sehingga Stephen Hawking (SH) berkesimpulan secara berbeda dengan yang diperoleh dari kaum beriman? Menurut saya, titik perbedaannya terletak pada bagaimana semesta ini dapat berproses? Dengan berdasar pada mekanika kuantum Planc tentang dualisme cahaya sebagai gelombang dan partikel, dan asas ketidakpastian Heisenberg yang menyebut ketidakpastian posisi partikel, maka SH berkesimpulan bahwa jagat raya atau semesta ini ada dengan sendirinya, sehingga tidak perlu ada awal dan tidak perlu ada akhir, sesuai dengan hukum kekekalan energi.
Yang patut dicatat, adalah bahwa kesimpulan yang diperoleh HS di atas bukanlah merupakan hasil pengamatan atau observasi secara langsung atas objek-objek yang dibicarakannya. Namun, lebih atas pengembaraan logikanya berdasarkan atas teori, penemuan atau hukum-hukum para ilmuwan sebelumnya. Sebagaimana dikemukakan dalam ucapan pengantar dalam bukunya sendiri, SH, sejatinya adalah seorang Matematika yang jenius (karena begitu rumitnya Matematika yang ia kuasai), yang melakukan riset dalam kosmologi dan teori kuantum, untuk mencoba hendak menjawab pertanyaan : “dari mana jagat raya? bagaimana dan bagaimana jagat raya berawal? Akankah jagat raya menemui akhir, dan jika iya, bagaimana caranya?”.
Catatan yang kedua, adalah bahwa kesimpulan HS, juga berangkat dari pengakuannya sendiri, bahwa hukum-hukum Fisika atau ilmu Sains yang pernah dikenal oleh manusia hingga saat ini tidak akan menjangkau, dan apalagi tidak akan mampu menjelaskan tentang bagaimana peristiwa sebelum terjadinya big bang atau peristiwa sesudah terjadinya black hole. Mengapa? Untuk peristiwa sebelum big bang, sains tidak akan dapat menjelaskan, karena kondisi yang terjadi dengan rapatan massa yang sangat luar biasa, jelas tidak akan memberikan peluang pada teori atau hukum sains dapat bekerja sebagaimana seperti sekarang ini, ketika semesta telah memuai atau mengembang.
Sementara itu, untuk peristiwa sesudah black hole, kondisinya pun hampir sama dengan saat peristiwa sebelum terjadi big bang. Saat terjadi black hole atau sesudahnya, maka cahaya yang selama ini diandalkan sebagai instrumen yang dapat digunakan dalam mengurai fenomena sains, justru akan terjebak selamanya dalam lubang hitam. Sehingga, manusia tidak akan dapat memperoleh informasi sama sekali mengenai apa yang terjadi dengan nasib materi dan cahaya sendiri saat sudah masuk ke lubang hitam. Mengapa? Karena cahaya sendiri dianggap terlalu besar untuk dapat lolos dari lobang hitam.
Saya kira, di sinilah titik awal terjadinya perbedaan pendapat antar sejumlah saintis dengan kaum ber-Tuhan. Bagi HS dan para saintis yang bersepaham, ketidaktahuan atau keterbatasan manusia dalam menjelaskan lebih lanjut mengenai peristiwa pra big bang dan pasca black hole, cukup dijelaskan dengan dua hal : (1) ketidakrelevanan untuk menjelaskan dua masa yang sulit dijelaskan itu bagi kepentingan manusia sendiri. (2) kembali pada postulat mengenai kekekalan energi, bahwa energi yang merupakan hakikat dari segala materi dan hakikat alam semesta, adalah ada dengan sendirinya, tidak berawal, tidak berakhir, tidak diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, sehingga tidak perlu ada kehadiran Tuhan.
Masing-Masing Berpendapat
Bagi mereka yang mengimani adanya Tuhan, tentu berpendapat secara berbeda. Bahwa tidak mungkin, sebuah asal semesta yang hakikatnya sama, yaitu energi, akan dapat dengan sendirinya bisa berubah menjadi aneka ragam partikel pembentuk sub atom dan atom, hingga mampu membentuk benda-benda di jagat raya yang kita kenal selama ini (lihat, M. Baqir Ash Shadr dalam Falsafatuna). HS dan para pendukungnya dapat membela diri dengan berdalih atas dasar mekanika kuantum dan asas ketidakpastian, sehingga energi atau materi memiliki beragam kemungkinan untuk menjadi sesuatu, termasuk menjadi proton, elektron, neutron, atom, molekul dan seterusnya.
Inilah yang kemudian menjadi salah satu kegelisahan Einstein, hingga akhir hayatnya, dengan menyatakan bahwa “tidak mungkin, Tuhan sedang bermain dadu, terkait alam semesta”.
Termasuk pendapat berikut ini :
“Mengandaikan alam semesta ini ada dan berproses dengen sendirinya, peluangnya sama dengan badai Tornado yang menyapu sebuah tempat rongsokan besi tua di pinggiran kota Detroit, sehingga akan dapat berubah menjadi sebuah pesawat Boeing 747 yang utuh”.
Bagi sebagian kaum saintis, tentu saja tetap optimis bahwa suatu saat mereka akan mengetahui dengan sempurna bagaimana hukum-hukum semesta ini bekerja. Impian para kaum Saintis yang selalu akan muncul untuk menemukan sebuah Grand Unified Theory (GUT) yang akan memahami secara sempurna tentang rahasia Tuhan menciptakan alam semesta, sehingga akhirnya, menurut mereka pula, Tuhan pun dianggap tidak lagi diperlukan kehadirannya.
Antara lain, dapat dikemukan di sini pernyataan seorang fisikawan dan pemenang hadiah Nobel Max Born (1928) di depan sekelompok tamu di Universitas Gottingen :
“Fisika, seperti yang kita ketahui, akan selesai dalam enam bulan lagi”.
Sebuah pernyataan yang begitu ambisius, yang hingga kini pun belum terbukti. Bahkan Stephen Hawking sendiri telah berkesimpulan mengenai ketidakmungkinannya manusia dapat mengetahui seluruh hukum-hukum yang mengatur alam semesta.
Saya sendiri, lebih condong pada pendapat Einstein, bahwa Tuhan tidak bermain dadu, terkait alam semesta. Bahwa pilihan pendapat Stephen Hawking, adalah mengacu pada keterbatasan sains sendiri dan peluang semesta menjadi dan berproses dengan sendirinya berdasarkan atas peluang yang amat kecil. Maka, saya memilih proses terjadinya alam semesta berdasakan peluang yang jauh lebih besar. Maka, saya mengimani adanya Tuhan. ***By Srie
Salam persahabatan
Srie
Mantap,
BalasHapussaya paling suka kutipan ini (teringat follow up di sudut2 kampus,..hehe):
Bahwa tidak mungkin, sebuah asal semesta yang hakikatnya sama, yaitu energi, akan dapat dengan sendirinya bisa berubah menjadi aneka ragam partikel pembentuk sub atom dan atom, hingga mampu membentuk benda-benda di jagat raya yang kita kenal selama ini (lihat, M. Baqir Ash Shadr dalam Falsafatuna)