Pelajaran Sejarah : 20 Mei, Mengapa Jadi Hari Kebangkitan Nasional ?
Oleh Sri Endang Susetiawati
Pelajaran Sejarah baru saja hendak dimulai di suatu kelas SMA. Ibu guru yang belum genap setahun mengajar itu langsung mengajukan sejumlah pertanyaan kepada murid-muridnya.
Guru : Anak-anak, kalian tahu besok hari apa ?
Murid-murid ternyata hanya terdiam saja. Tidak ada satu pun yang berani untuk menjawab. Tampaknya, ibu guru agak heran atas perilaku anak didiknya.
Guru : Besok itu, hari Jum’at, anak-anak. Tahukah, kalian besok tanggal berapa ?
Murid : ???????
Murid-murid tetap juga tidak ada yang berusaha menjawab. Wajah-wajah mereka tampak kebingungan dengan pandangan yang seragam, menunduk ke arah meja belajar. Tentu, keadaan ini telah cukup membuat Ibu Guru agak kesal.
Guru : Hei, kalian !
“Plak ....” bunyi meja yang ditepuk secara keras oleh Ibu Guru dengan agak marah.
Guru : Mengapa kalian tidak bisa menjawab pertanyaan yang begitu sangat mudah ?
Murid : ???***##
Guru : Oh... begini ya, generasi pelajar korban UN (Ujian Nasional). Cuma bisa menjawab dengan tes tertulis pilihan ganda.
Murid : ????****###???
Guru : Kalian jangan mau dibentuk oleh UN hanya untuk menjadi manusia robot yang bodoh. Biasakanlah, kalian menjadi manusia yang normal dengan menjawab pertanyaan lisan secara cerdas. Kalian mengerti ?
Murid : Mengerti Bu......
Guru : Wah, bagus kalian. Sudah kembali menjadi manusia yang normal. Sekarang, jawab pertanyaan Ibu. Besok tanggal berapa ?
Johan : Tanggal 20 Mei, Bu.
Guru : Bagus ! Kalian tahu, 20 Mei biasa diperingati sebagai hari apa ?
Tyas : Hari Kebangkitan Nasional, Bu....
Guru : Bagus.... ! Ternyata kalian pintar juga.
Ibu Guru mulai tampak tersenyum dengan bangga. Tentu, karena murid-muridnya telah mulai berani untuk menjawab atas sejumlah pertanyaannya.
Guru : Sekarang, giliran Neny untuk menjawab pertanyaan. Mengapa setiap tanggal 20 Mei, di negara kita diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional ?
Neny : Katanya sih, karena bertepatan dengan berdirinya Budi Utomo, bu....
Guru : Bagus, kamu Neny. Sekarang, giliran Mbahwo jawab petanyaan Ibu. Mengapa berdirinya Budi Utomo selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional ?
Mbahwo : Jujur, saya tidak mengerti Bu.
Guru : Kenapa tidak mengerti ?
Mbahwo : Ya, bagaimana tidak mengerti, wong perkumpulan para pelajar priyayi Jawa yang cuma berapa orang saja disebut sebagai kebangkitan nasional.
Ibu Guru mulai terlihat agak berpikir keras. Dari raut wajahnya, ia tampak senang dan lebih bersemangat untuk mengajar.
Guru : Pendapat kamu sangat cerdas, Mbahwo. Beri tepuk tangan, buat Mbahwo....!
“Plok...plok...plok....!” suara tepuk tangan murid di kelas terdengar cukup lama, disertai dengan sedikit teriakan mereka yang menyemangati Mbahwo.
“Hidup Mbahwo.... . Mbahwo, dilawan...!” ucap sebagian dari mereka.
Julianto : Sekarang, giliran saya yang tanya ke Ibu Guru. Boleh kan bu ?
Guru : Wah, itu sangat bagus. Saya sangat suka kalau murid berani bertanya. Jangan UN saja yang suka bertanya !
Murid : He..he..he..
Julianto : Terus, menurut Ibu Guru sendiri, kenapa tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional ?
Guru : Pertanyaan yang sangat cerdas ! Mau tahu jawaban Ibu ....?
Murid : Mau dong Bu.......
Guru : Ibu sendiri tidak habis pikir, kenapa berdirinya Budi Utomo disebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional !
Murid : Ha...ha..ha..ha.... !
Guru : Teruslah kalian tertawa, agar terdengar oleh Presiden SBY. Bahwa, kalau pemerintah bikin hari bersejarah itu, seharusnya tidak seenaknya !
Murid : Ha...ha...ha...ha...ha...ha...ha.. Wkwkwkwkwkwkwk...... !
Tak lama kemudian, pelajaran pun dianggap selesai. Ibu Guru merasa puas dengan proses belajar yang terjadi di kelas itu. Sambil membawa tas di tangan kanannya, Ibu Guru masih sempat bergumam sesaat keluar dari pintu kelas :
“Sejarah seringkali hanya menjadi selera para penguasa...!”
Bagaimana dengan pendapat Anda ?
Demikian, terima kasih
Salam Persahabatan
Srie
Catatan : Semua nama yang tercantum dalam tulisan ini murni hanya merupakan rekaan belaka, dan jika ada kesamaan nama, maka dianggap hanya kebetulan semata. Mungkin, saat sedang menulis tulian ini, nama-nama itu sempat muncul, jadi harap maklum. Terima kasih.
Tidak ada komentar
Kami menghargai komentar yang relevan dengan konten tulisan, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, dan tidak mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).