Bersedekahlah dengan Ikhlas, Tanpa Hitung-hitungan Matematika
Masih saja ustadz itu mengkhutbahkan bahwa keberuntungannya dikarenakan shodaqoh. Maka, ia pun tak bosan-bosan untuk mengajak para jama’ahnya untuk rajin bershodaqoh. “Shodaqoh itu menolak bala, menghindarkan kita dari segala hal yang mencelakakan diri kita” katanya di suatu kesempatan.
Bukan hanya itu, diuraikannya Hadits Nabi yang menyebut bahwa barang siapa yang rajin bershodaqoh (bersedekah), maka Allah akan melancarkan segala rizkinya, dan melapangkan segala urusannya. Pokoknya, kata Ustadz, dengan sedekah, maka Allah akan memberikan balasan yang tak disangka-sangka kepada mereka yang melakukannya, baik di saat lapang maupun susah.
“Itulah keajaiban sedekah...” simpulnya.
Saat ditanya mengapa seseorang mengalami kesulitan dalam mencari nafkah atau rizki, pun jawabannya singkat, “biasakanlah bersedekah, agar rizkinya lancar !”. Sebaliknya, bagi mereka yang pelit dalam sedekah, maka Allah akan memberinya kesusahan yang sering tak terbayangkan sebelumnya.
“Ini soal believe or not, percaya atau tidak” katanya berusaha makin meyakinkan jama’ah.
“Kita sebagai orang beriman, masa gak percaya sama kata-kata Allah sendiri, sama kata-kata Rasulullah...” tambahnya.
“Betul !” kata saya dalam hati. Kita, memang harus percaya apa yang dikatakan Allah dan Rasulnya. Namun, ketika hal itu harus dimaknai dengan sebuah penyederhanaan pemahaman seperti itu akan menimbulkan banyak pertanyaan, bahkan juga kegelisahan bagi kelompok orang-orang tertentu.
Pertanyaannya, benarkah hubungan antara sedekah dengan keberuntungan itu begitu sangat linier dan bersifat pasti ? Artinya, apakah dapat disimpulkan dengan mudah, bahwa orang yang bersedekah akan dengan sendirinya, pasti, akan memperoleh keberuntungan, termasuk keberuntungan materi juga ? Sebaliknya, bagi mereka yang enggan bersedekah akan secara otomatis cenderung menuai bala, atau segala sesuatu yang tidak diinginkan oleh seseorang ?
Menurut saya, tidak semudah dan sesederhana begitu. Berikut ini penjelasan yang dapat diberikan.
Pertama, ajaran tentang keutamaan sedekah terkait dengan pesan persuasif kepada kaum muslim agar rajin bersedekah.
Kedua, reward (imbalan) dari sedekah pada akhirnya sepenuhnya terserah kepada Allah saja. Tidak harus dalam hubungan yang linier dan pasti, bahwa mereka yang bersedekah akan secara otomatis menemui keberuntungan dan terhindar dari kemalangan. Bukankah, tidak sedikit mereka yang bersedekah hidupnya tetap saja merasa pas-pasan atau tidak mengalami perubahan secara signifikan ? Sebaliknya, bukankah tidak sedikit pula mereka yang enggan bersedekah, justru rizkinya jauh lebih lancar dan mengalir dari mereka yang rajin bersedekah ?.
Sekedar contoh, bukankah, kita pernah mendengar ada seorang ustadz yang justru sempat kemalingan dan hartanya hilang hingga ratusan juta rupiah, padahal dirinya selalu rajin bersedekah dan menganjurkan sedekah ? Bukankah, ada empat kyai alim yang cukup terkenal di wilayah Cirebon, ternyata meninggal di saat berada di dalam mobil, karena tertidur dan terkena racun AC mobil, di daerah Kuningan ? Pertanyaannya, apakah kita berani mengatakan bahwa para kiyai itu meninggal secara tidak wajar (karena bala), dikarenakan mereka kurang bersedekah ?
Masih ada lagi, bukankah dari 4 (empat) Khulafaur Rasyidin, 3 (tiga) orang diantaranya meninggal dengan cara dibunuh oleh kaumnya sendiri ? Dibunuh, adalah meninggal yang kurang wajar (bala). Bisakah kita mengatakan bahwa Khalifah Umar, Utsman dan Ali meninggal tak wajar karena kurang bersedekah ?
Secara sekilas, kata-kata bombastis “seretnya rizki karena kurang sedekah” tentu akan melukai mereka yang kebetulan bernasib kurang beruntung. Seolah, mereka menjadi pihak yang tertuduh, bahwa kekurangberuntungan nasibnya diakibatkan oleh kurang sedekah. Sebuah kesimpulan yang cenderung sembarangan, dan tampaknya kurang dapat diterima dengan begitu saja sebagai sebuah hal yang begitu sederhana.
Ketiga, akhirnya kita perlu memurnikan kembali pemahaman tentang bersedekah. Apa itu ? Bersedekahlah karena Allah menyuruhnya, begitu pun Rasul menganjurkannya. Sama seperti sikap Umar bin Khathab, r.a. yang akhirnya mau mencium hajar aswad, batu hitam di dalam ka’bah, betapapun beliau sendiri kurang suka melakukan hal tersebut. Namun, karena Nabi juga melakukan, maka Umar pun mengikutinya.
Maka, bersedekahlah karena Allah menganggapnya sebagai sebuah perbuatan yang mulia. Dan, kenapa kita harus berharap yang terlalu berlebihan dan terkadang kurang realistis dalam hal timbal balik dari bersedekah ? Menurut saya, apa imbalan dari sedekah, serahkan saja kepada Allah untuk membalasnya. Balasan itu tidak harus dapat dijelaskan secara matematis, bahwa jika bersedekah X rupiah, maka akan memperoleh imbalan senilai X rupiah lagi atau lebih. Sungguh, sebuah pemahaman yang amat simplistis dan bersifat ekonomis sekali, ada hitungan untung rugi dalam bersedekah. Tanpa sadar, kita telah dididik bersedekah dengan rasa pamrih, tidak murni lagi, tidak ikhlas lagi. Karena kita bersedekah disertai dengan harapan adanya imbal balik yang kentara.
Kita yakin saja, bahwa apabila kita berbuat kebaikan, maka Allah akan membalasnya dengan kebaikan pula. Namun, bagaimana bentuk balasan itu, akhirnya terserah bagiamana Allah yang akan membalas. Bisa jadi, tidak dalam bentuk materi, yang setara atau bahkan lebih dengan nilai yang disedekahkan. Namun, amat mungkin, bahwa imbalan Allah, misalnya dalam bentuk kesehatan kita yang terus terjaga, atau kesehatan anggota keluarganya, bisa pula berupa ketenteraman dan kerukunan hidup, atau bentuk balasan lainnya yang terkadang kita belum menyadarinya.
Cara kita bersedekah secara murni, tanpa pamrih, jelas akan memberikan ketenangan bagi mereka yang bersedekah atau yang belum sempat bersedekah. Mereka tidak akan mengalami kecewa, saat sedekahnya ternyata belum memperoleh imbalan yang diharapkan. Sebaliknya, mereka yang hidupnya kurang beruntung akan merasa tidak terpojokkan, karena tidak lagi dianggap sebagai akibat langsung dari belum sempatnya mereka bersedekah.
Begitu pula, kemalangan yang terkena pada seseorang tidak lantas disimpulkan sebagai akibat dari kurangnya bersedekah. Sebaliknya, keberuntungan yang diperoleh seseorang tidak menjadikan dirinya menjadi begitu lekas sombong, bahwa seolah dirinya sedang disayang Allah dikarenakan oleh perbuatannya yang rajin bersedekah. Jadi, ada pemahaman yang wajar, bahwa sedekah bukanlah satu-satunya faktor yang secara otomatis dapat memberikan keuntungan atau kemalangan bagi hidup seseorang. Banyak faktor lain yang membuat seseorang itu beruntung atau mengalami kemalangan, orang itu lancar rizki atau seret rizki, dan seterusnya.
Maka, tetaplah rajin bersedekah dengan ikhlas. Imbalannya, biar Allah yang akan menentukan, dalam bentuk apakah, atau kapankah imbalan itu diberikan kepada kita. Tugas kita, hanyalah sekedar melaksanakan segala apa yang diperintahkan secera ikhlas, dan menjauhi segala larangan dengan ikhlas pula. Saya kira, inilah cara beragama bagi orang-orang yang ikhlas, mukhlishina lahuddiin.
Demikian, terima kasih.
(Oleh Sri Endang Susetiawati)
Tidak ada komentar
Kami menghargai komentar yang relevan dengan konten tulisan, menggunakan bahasa yang baik dan sopan, dan tidak mengandung unsur kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).