Isu Kudeta, Mengapa Masih Harus Ada ?
Oleh Srie
Isu mau ada kudeta ? Jujur saja, masih tak habis pikir mengapa isu itu masih harus ada. Kita boleh kecewa terhadap pemerintah SBY-Boediono hingga hari ini. Kritik pedas pun terbuka lebar untuk dilontarkan mengenai kekurangan di sana- sini. Namun, melontarkan gagasan atau isu kudeta terhadap pemerintahan yang sah, adalah sebuah tindakan yang sangat anti demokrasi.
Ini, sama sekali bukan soal bela-membela atas kepemimpinan SBY-Boediono. Bukan pula, dalam rangka menutup mata atas segala kekurangan yang terjadi selama kepemimpinan SBY hingga saat ini. Kekecewaan, tentu saja ada. Kekurangtegasan dalam menyikapi banyak hal, keragu-raguan dan kelambanan yang cukup mengesalkan atas proses pengambilan keputusan, hingga soal pencitraan yang dianggap seolah terlalu amat jauh dari kenyataan. Pun, sejumlah janji-janji selama kampanye Pilpres yang ternyata dianggap masih cukup banyak yang belum dapat terealisasikan.
Anggaplah saja, hal itu sebagian besar adalah benar adanya. Meski, tentu pemerintah dan para pendukungnya memiliki pendapat, dan versi atau cara pandang sebaliknya yang berbeda. Pasti, mereka akan menjelaskan sejumlah keberhasilan yang telah dicapai. Pasti, mereka akan menguraikan mengenai banyak hal yang dianggap belum dapat diwujudkan. Sudah tentu, mereka akan membenarkan atas segala sikap dan tindakan yang telah menuai keraguan dan pertanyaan di sebagian hati rakyat.
Namun, apakah seluruh kekecewaan dan kekesalan itu lantas harus bermuara pada gagasan atau isu kudeta ? Apakah sebuah tuntutan yang dilakukan oleh sebagian rakyat kemudian tidak dipenuhi oleh pemerintah, lantas menjadi alasan pembenar untuk menggulirkan isu kudeta. Apakah, ketika sejumlah jenderal purnawirwan yang merasa kecewa berat, dan merasa terpanggil oleh jiwa sapta marga prajurit dapat memperoleh mandat yang sah untuk mengajak rakyat secara bersama-sama untuk melakukan kudeta ?
Jawabannya, adalah TIDAK SAMA SEKALI ! Ini, adalah negeri Indonesia yang secara sadar dan sangat matang diperhitungkan oleh para pendiri negeri, untuk akhirnya memilih demokrasi sebagai sistem politik negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Bukan sistem monarki, dimana pemegang kedaulatan negara tertinggi berada pada raja atau para raja. Meski pun, saat menjelang kemerdekaan gagasan tersebut cukup kuat untuk diusulkan oleh sebagian para pendiri republik ini.
Bukan pula, sistem negara yang tunduk pada kekuasaan belaka, melainkan harus taat atas dasar ketentuan hukum negara. Tidak ada sedikit pun konstitusi kita memberi ruang, bahwa mereka yang kuat secara otomatis akan dapat mengendalikan kekuasaan negara. Termasuk di dalamnya, adalah kekuatan atau kekuasaan militer yang dapat mengambil alih begitu saja kekuasaan negara. Tidak ada alasan pembenar sama sekali, pengambil alihan kekuasaan secara tidak sah dalam sistem negara demokrasi.
Lantas, bagaimana menyalurkan kekecewaan dan ketidaksetujuan atas pemerintahan yang berlangsung hingga saat ini ? Cara pertama yang paling demokratis adalah suarakan terus sikap dan pandangan kritis tersebut melalui berbagai saluran demokrasi yang sah dan dapat dibenarkan. Suarakan melalui berbagai media masa atau pers, melalui lembaga perwakilan rakyat, melalui berbagai forum diskusi, forum politik hingga berunjuk rasa secara tertib agar memperoleh perhatian yang lebih atas apa yang disuarakan. Termasuk pula, telah tersedia saluran demokrasi yang telah disepakati dalam konstitusi, seandainya sang presiden atau wakil presiden dianggap telah melanggar konstitusi atau sumpah jabatan, melalui mekanisme parlemen dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Cara kedua yang paling demokratis, adalah persiapkanlah untuk tidak memilih kembali para pemimpin pemerintahan saat ini dan mereka yang dianggap terlibat atas kegagalan pemerintahan pada Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan datang. Persiapkan diri dan kelompoknya, bahwa merekalah yang paling layak untuk dipilih dalam Pemilu, paling mampu dan berpeluang untuk membawa rakyat pada tingkat kesejahteraan yang lebih baik, sesuai yang diharapkan. Raihlah simpati rakyat sebanyak-banyaknya agar dapat terpilih oleh rakyat dan memperoleh mandat yang sah untuk memerintah.
Itulah, mekanisme atau aturan main dalam negara demokrasi. Isu kudeta, bukan saja tidak ada ruang dalam sistem negara demokrasi. Namun juga, secara politik isu kudeta jelas tidak mendidik bagi kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang sehat. Terlalu banyak energi yang harus terkuras dan tersita untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu, dan tidak boleh terjadi. Terlalu banyak waktu yang hilang, yang seharusnya dapat dipergunakan untuk keperluan yang jauh lebih penting dan mendesak terkait dengan kebutuhan hajat hidup rakyat banyak.
Justru, ketika saat ini, pemeritahan SBY-Boediono dianggap telah cukup banyak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan rakyat secara lebih maksimal sesuai dengan janji-janjinya semasa kampanye Pemilu 2009. Justru, kita semua pun telah tahu, betapa tingginya harga yang harus dibayar dan betapa banyak kerugian yang akan tertanggungkan oleh rakyat, jika kudeta itu benar-benar terjadi. Betapa, bangsa dan negara ini akan kembali mundur, dipaksa untuk memutar jarum sejarah ke masa-masa lampau kembali, dari masa reformasi saat ini.
Kudeta adalah bukan pilihan dalam sistem negara demokrasi. Isu kudeta, bukanlah isu yang elok dalam sebuah negeri yang telah masuk era reformasi. Termasuk, pun bila isu itu ternyata dihembuskan oleh pihak pemerintah sendiri. Tugas kita, adalah melanjutkannya, mengawal secara ketat, bagaimana agar sistem pemerintahan dapat berjalan diatas rel reformasi dan cita-cita seluruh rakyat di negeri ini. Tentu, secara bersamaan dengan tetap membangun dan mengembangkan sistem perilaku dan kelembagaan demokrasi, yang telah sama-sama kita pilih.
Kita boleh masih merasa kecewa, merasa kesal dan memendam rasa amarah. Kita hanya perlu sedikit untuk tetap dapat bersabar. Mengapa ? Karena, demokrasi pun memerlukan kesabaran. Itulah indahnya demokrasi......*** [Srie]
Terima kasih banyak, Bu, isi artikelnya membuka pikiran saya.
BalasHapus(Catherine Maylina, 6, X MIPA 4)